Sabtu, 09 Juli 2011

mahayana

BAB I
Kodifikasi (Penyusunan ke dalam satu bahasa)
Mahayana Vinaya


Dalam kedua-duanya aliran Selatan dan Utara, kata Vinaya berarti
Aturan-Aturan Pasamuan Keagamaan. Aturan-aturan itu merupakan keharusan
dari pada perbuatan dan kemajuan untuk memimpin para bhiksu pada disiplin
pikiran dan praktek kebenaran.

Kata-kata Vinaya jug diinterpretasikan Disiplin, Peraturan. Vinaya adalah
laksana mutiara mutiara putih yang menghiasai mereka yang memakainnya. Ia
murni dan ia memurnikan secara air samudra yang memurnikan.

Dalam arti biasa dan dalam ukuran teladan, Vinaya berarti disiplin atau
Pelaksanan akan apa yang benar dan adil, serta diiringi hukuman-hukuman yang
sesuai dengan pelanggaran-pelanggaran.
Dalam memenuhi pemeliharaan diri, kesabaran diharapkan dengan jalan
mentaati disiplin-disiplin.

Oleh karena nampak adanya kesalah pahaman atas Mahayana maka dirasakan
perlu akan suatu penjelasan yang dimulai dari jaman sejak Parinirvana sang
Buddha.

Tata cara dalam sejarah Buddhis bahwa pada waktu Sang Buddha mencapai
Parinirvana. Beliau tidak meninggalkan catatan-catatan yang tertulis tetapi
hanya ajaran lisan yang semasa hidup Beliau telah dihafalkan oleh
siswa-siswa beliau secara lengkap dan terrinci.

Juga tercatat sebagai bukti sejarah di dalam Kitab Pacisma Prinirvana
sutra, bahwa pada tahun 543 SM, di kota Vaisali Sang Buddha jatuh sakit
disentry dalam usia 80 tahun. Pada saat menjelang Parinirvana. Beliau
meninggalkan sebuah perintah yang terakhir kepada Ananda mengenai Sangha
seperti berikut :

“Ananda, setelah Parinirvana, jika Sangha meminta pembatalan beberapa
peraturan Vinaya kecil, Tathagatha memberikan kamu ijin untuk
membatalkannya secara berturut-turut.

Kira-kita tiga bulan setelah parinirvana Sang Buddha, dilangsungkan Dewan
Agung Sangha Yang Pertama di kota Rajagraha, dihadiri oleh 500 arahat, dan
dipimpin oleh Mahakasyapa Arahat. Pada Dewan ini Ananda menyampaikan
perintah ijin yang terakhir dari Sang Buddha yang mengijinkan pembatalan
sebagian dari Vinaya Kecil secara berurut.

Dengan seketika Dewan Arahat itu mennyakan pada Anand apakah dia bertanya
kepada Sang Buddha nama dari apa yang disebut Vinaya Kecil itu. Atas itu
Ananda menjawab bahwa pada saat itu dirinya telah hilang dalam keheranan dan
lupa untuk beranya tentng nama-nama Vinaya Kecil itu. Atas kelalainnya dalam
soal itu Ananda dijatuhi hukuman Duskrta oleh dewan.

Akibatnya terjadilah serangkaian perdebatan dalam Dewan atas apa adanya
vinaya yang besar dan yang kecil itu. Ada yang menyatakan bahwa 4 Parajika
dan 13 Sanghadisesa adalah kesalahan besar dan yang lain-lainnya adalah yang
ringan. Ada lagi pula yang mengatakan bahwa 4 Parajika, 13 Sanghadisesa, 2
Aniyata, 30 Naihsargika Prayasticittika dan 92 Pravascita adalah kesalahan
besar dan yang lain-lainnya kecil, dan lain-lain.

Dalampada itu, untuk meredakan pertentangan, Arahat Ketua Maha Kasyapa
menyatakan bahwa semua vinaya sebenarnya aturan-aturan disiplin yang
diperuntukkan para bhiksu dalam usaha menghindari diri mereka dari pada
kesalahan-kesalahan, maka Beliau meminta agar tidak ada vinaya yang
dibatalkan. Seluruh hadirin setelah mendengar itu menjadi diam tertegun, dan
kemudian saran itu diterima oleh Sidang dengan suara bulat.

Juga tercatat bahwa pada masa berlangsungnya Dewan Sangha Pertama di
Rajagraha, pada waktu itu di India terdapat 70 Bhikkhu, dari jumlah mana 500
telah terpilih sebagai anggota Dewan untuk keprluan memperbincangkan dan
mengatur Doktrin Buddhis. Demi kepentingan para Bhikkhu maka kitab Buddhis
telah ditulis dalam kedua-duanya bahasa Magadha dan Sanskerta.
Komentar-komentar Bahasa Magadha adalah untuk para bhiksu di bagian Utara.

Dapatlah dikatakan bahwa Vinaya Pitaka menjelma ke dalam tulisan di dalam
Sidang Dewan Pertama disusun oleh Upali Arahat pada tahun Sang Buddha
meninggal (atau kira-kira 543 S.M) sebelum terjadinya peristiwa perpisahan
pohon utama menjadi dua bagian yaitu Hinayana dan Mahayana.

Dewan Sangha Agung kedua dilaksanakan kira-kira 100 tahun sesudah Dewan
agung Pertama, di kota Vaisali, dihadiri oleh 700 Bhiksu sesepuh dan
diketuai oleh Yasojakandakaputra.

Dalam sidang Dewan ini diajukan permintaan pembatalan 10 pasal dari Vinaya
Kecil, hal mana dengan hangat hangat diperdebatkan oleh Bhiksu Sansekerta
yang bernama Vajjiputra dan Bhiksu Magadha Yasojakandhakaputra yang memimpin
sidang itu.

Pengikut bagian Sansekerta menuntut bahwa oleh karena Sang Buddha sendiri
telah mengijinkan perubahan Vinaya Kecil sesaat sebelum beliau mencapai Maha
Parinirvana yang terakhir dari J.M. S. Sang Buddha.

Para pengikut bagian Magadha melandaskan pendirian mereka atas ketentuan
pertama dari Dewan Agung sangha Pertama yang dipimpin oleh Maha Kasyapa
arahat Sidang mana telah menolak peniadaan Vinaya Kecil.

(Pernyataan di atas diangkat dari Asoka Sutra No. 6)


10. Vinaya Kecil

Sepuluh vinaya Kecil itu adalah seperti berikut :
1. Tidak menerima baik sendiri ataupun orang lain untuk kepentingannya dan
yang menyimpankan untuknya, emas atau perak
2. Tidak memakan bila mengunjungi suatu desa, makanan apapun jika tak
terlebih dahulu diundang atau dipersilahkan
3. Tidak makan pada sore hari sampai keesokan harinya
4. Tidak menyampur makanan dengan garam yang telah disimpan dalam tanduk,
dan tidak akan memakannya.
5. Tidak minum, kelewat waktu yang telah ditentukan, lima tahap daripada
susu
6. Tidak meminum-minuman yang dimuaikan (jelasnya materi berair dalam
buah-buahan) yang warnanya menjadi kemerah-merahan seperti kaki merpati,
sekalipun tidak memabukkan.
7. Tidak melakukan Uposatha- Karma (membaca larangan-larangan Sangha dan
saling mengaku kesalahan setiap dua bulan sekali pada seorang bhiksu yang
datang sesudah pembacaan dimulai atau yang meninggalkan tempat itu sebelum
pembacaan terakhir.
8. Tidak melakukanUposatha-Karma yang terpisah dalam vihara yang besar dalam
lingkungan yang sama
9. Tidak mempergunakan Nisidana (kain untuk bernamaskara) yang terlalu
lebar.
10. Tidak mengikuti Pandiksa (initiator) dalam upacara tradisi kuno apapun.
(Pernyataan di atas di angkat dari Kamus Buddhis Tionghoa di bawah
perjudulan Vajjiputra dan lain-lain)

Ketidaksesuaian antara Sangha Sansekerta dan Sangha Magadha menimbulkan
perpisahan menjadai dua yaitu :
1. Kelompok Magadha yang disebut Sthavira. (Sthavira adalah kata Sansekerta
yang identik dengan kata Thera dari Magadha)
2. Kelompok Sansekerta yang disebut Mahasangika. (Mahasangika adalah kata
Sansekerta yang identik dengan kata Mahasangha dari Magadha)

Dari sana seterusnya Sangha Buddhis menjadi terpisah ke dalam dua Mazhab
yang masing-masing mengadakan Dewan Agung Sangha ke III :
1. Dewan Agung Sangha ke- III yang diadakan oleh Sangha Sthavira
berlangsung di Kota Pataliputra di bawah pimpinan Mogaliputra. Tissa 200
tahun sesudah Dewan Agung Sangha ke –II. Dewan Sangha ke-III ini dijiwai
oleh tunjangan yang hebat dari Raja Asoka
2. Raja Asoka adalah cucu raja Chandragupta, yang antara 10 dan 12 tahun
sesudah kunjungan Iskandar Agung ke India, telah mengangkat dirinya sendiri
sebagai Raja dari Magadha, dan setelah mempertahankan Lembah Indus dari
serangan Agresi Yunani kemudian memperluas kerjaanya atas sebagian besar
Hindustan. Raja Asoka memerintah dari tahun 264 sampai 273 A.D. Ketika
Beliau naik tahta beliau segera mengakui Agama Buddha sebagai agama resmi
dalam lingkungan seluruh kerajaanya, dan sejak saat itu agama Buddha
tersebar luas ke seluruh India.
3. Dewan Agung Sangha ke III yang diadakan oleh sangha Mahasangika
berlangsung di Kota Kashmir di bawah pimpinan Vasumitra, kira-kira 230 tahun
sesudah Dewan Agung Sangha ke II dengan tunjangan besar sekali dari raja
Kanisha yang menjadi pelindung dan penyebar Agung Agama Buddha. Disebutkan
bahwa ketika kanon Buddhis diperbaiki Beliau memerintahkan agar kanon itu
diukir atas kepingan-kepingan perunggu dan ditempatkan di dalam sebuah
Stupa. Raja Kanisha adalah Raja dari Gandhara di Punjab Utara yang
menakhlukkan India Utara sehingga sejauh Bactria. Beliau adalah Pelindung
Besar Agama Buddha, dan Beliau adalah Raja yang terbesar sesudah Raja asoka.

Perpecahan yang memisahkan Aliran Utara dan Selatan disebabkan perbedaan
pendapat, dan secara otomatis kelainan-kelainan doktrin menyusul perpecahan
yaitu :


I. Sthavira

Sthavira telah melahirkan Sthaviravada (Theravada). Sthaviravada adalah
kata Sanskerta yang sama dengan kata Pali Theravada. Nyatanya terjemahan
Magadha dan Pali hampir sama. Magadha dipergunakan di India dan Pali
dipergunakan di Srilangka.

Kanon Theravada merupakan satu bentuk kesusasteraan yang berlandaskan
Magadha di India dan ditulis dalam Bahasa Pali di Srilangka dalam tahun 80
SM (kira-kira 263 tahun Buddhis). Dengan perkataan lain Srilangka adalah
tempat kelahiran Theravada Buddhisme.

Theravada disebut Buddhisme Selatan. Buddha Dharma Aliran Selatan mengikuti
jalan Arahat (Arahatta Magga) yang berdasarkan Arahat. Jalan Arahat
berdasarkan teori yang mulai mengambil bentuk sejak masa Pangeran Siddhatta
menjadi Buddha dan disebut Sakya Arahatta Samma Sambuddha, dengan
ajaran-ajaran seperti berikut :
A. Ajaran Buddha
Aliran selatan menganut Ajaran Sang Buddha dari masa sekarang yaitu Sang
Sakyamuni Buddha.
B. Aturan Makanan
Dalam Aliran Selatan, seorang Bhikhu diijinkan makan daging hewan dia tidak
menganggap dirinya melakukan kesalahan atau pelanggaran sebab berdasarkan
pandangannya atas tiga syarat yang diijinkan oleh Sang Buddha seperti
diuraikan dalam Jivaka – Sutra seperti ;
1. Dia tidak melihat
2. Dia tidak mendengar dan
3. Dia tidak menduga bahwa hewan itu sengaja disembelih untuk menyediakan
makanan yang diberikan kepadanya.
(Disebut Trikotiparisudhi Mangsa yag berarti : Tiga macam daging yang
bersih)

Benar bahwa dia telah mengajar orang agar mengajar orang agar tidak
membunuh makhluk hidup tetapi adalah diluar kekuasaanya untuk mencegah orang
melakukan pembunuhan. Dalam hal orang tidak mengikuti ajarannya maka itu
adalah salah mereka sendiri kalau mereka mengabaikan keselamatan mereka
sendiri. Perbuatan adalah milik perorangan dan tiap orang bertanggung jawab
akan keselamatan dan pelanggarannya sendiri.
C. Pembebasan
Para arahat telah mencapai Nibbana yang memilih jalan pembebasan segera
untuk pembebasan mereka sendiri.
26 September 2010, 08:56:33 AM
BAB III
Peraturan Pratimoksa

Berkenaan dengan Pratimoksa, agak jelas bahwa itu telah disusun di dalam
Dewan Agung Sangha pertama pada tahun Sang Buddha meninggal dunia kira-kira
tahun 543 S.M, dan bahwa Pratimokhsa telah diperdebatkan oleh para anggota
Dewan tentang mana yang tergolong besar.

Demikianlah nampaknya dapat dibenarkan kalau dikatakan bahwa Pratimoksa
telah ditulis pada jaman sebelum terjadinya perpisahan Sangha Magadha dan
sansekerta menjadi 2 partai, Hinayanan dan Mahayana.

Ini satu bagian dari Vinaya yang terpenting dari Vinaya dan harus dibacakan
dalam Sidang Sangha dua kali sebulan pada hari bulan purnama dan bulam tilam
dari peninggalan chandra-sangkala, dan diwaktu mana setiap bhikksu diminta
mengakui kesalahannya demi pengampunan/absolusi.

Ini satu bagian dari Vinaya yang bersangkutan dengan pengakuan kesalahan
secara terbuka dihadapan bhiksu lain. Tiap peraturan dibacakan agar dapat
didengar oleh setiap bhiksu dalam sidang itu. Pada akhirnya setiap bagian,
bhiksu pemimpin bertanya apakah ada bhikkhu-bhikkhu dalam pertemuan itu yang
telah melanggar peraturan tersebut. Dia mengulangi pertanyaan ini sampai
tiga kali dan jika tiada suara yang keluar maka itu menunjukkan bahwa
bhiksu-bhiksu yang hadir bersih dan murni. Upacara ini juga disebut
Pembacaan dua kali sebulan larangan-larangan Sangha.

Pratimoksa yang berikut ini adalah sebagian dari Vinaya yang disebut Vinaya
Empat Bagian dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada A.D 405 oleh
Buddhayasas dan Chu-Fo-Nien. Pratimoksa ini berisi 250 Pasal yang
dipergolongkan di bawah delapan bagian sebagai berikut;
1. Parajika 4 pasal
2. Sanghavasesa 13 pasal
3. Aniyata 2 pasal
4. Naihsargika Prayascittika 30 pasal
5. Prayascitta 90 pasal
6. Pratidesaniya 4 pasal
7. Siksakaraniya 100 pasal
8. Adhykarana Samadha 7 pasal

Jumlah 250 pasal

Catatan: Dalam Buddhisme Aliran selatan, Patimokkha berisikan 227 pasal,
atau 23 pasal kurang dari Pratimoksa Mahayana yaitu : 92 Pacittiya. Dan 75
sekhiya (Lihat catatan pada akhir Bagian 5 dan 7)


Peraturan Pratimoksa
Parajika (P = S)
Bagian Pertama

Ada empat Kesalahan Parajika. Semua empat itu adalah kesalahan yang
terberat yang disebut kesalahan Kematian dan Kesalahan maut. Empat
kesalahan-kesalahan itu adalah :
1. Abrahmacarya : Asusila Kelamin
Seorang Bhiksu yang mengumbar diri dalam perbuatan kelamin dengan wanita,
laki-laki, atau binatang betina, telah melakukan kesalahan parajika.
2, Adattadanad : Pencurian
Seorang bhiksu yang secara salah memgambil barang apapun seharga 5
masaka (dengan ukuran nilai 60 baht = 1 Pound Sterling, maka satu masaka =
4.50 baht atau satu masaka = 16 Thung Chien mata uang Tiongkok Kuno) telah
melakukan parajika.
3. Vadha (Himsa) : Membunuh
Seorang Bhiksu yang membunuh satu makhluk manusia, baik dengan tangannya
sendiri, ataupun melalui petunjuknya, atau melalui hasutannya, atau
berkomplot dengan pembunuh, dia telah melakukan parajika.
4. Uttaramanusyadharmaprdlapad : Berbicara Palsu
Seorang bhiksu yang berbohong dan menyombngkan diri telah mencapai Tingkat
Kesucian yang sebenarnya tak dimilikinya, dia telah melakukan parajika.

Ksama
(Peraturan untuk pengakuan dan pengampunan)

Parajika merupakan Bagian Pertama dari Pratimoksa yang berisikan aturan
pengusiran dari sangha bagi kesalahan-kesalahan yang tak berampun,
kesalahan-kesalahan itu tidak dapat diampuni dengan pengakuan dihadapan
Sidang sangha ataupun oleh resolusi Sidang sangha itu sekalipun.
Si pelanggar adalah seperti sebatang jarum tanpa mata, batu pecah yang tak
mungkin dipersatukan lagi, sebatang pohon terpotong dua yang tak akan tumbuh
lagi, ataupun seperti seorang mati. Dia telah sepenuhnya tergelincir dan
menjadi suatu pembawa malu selama hidupnya.
Seorang Bhiksu yang melakukan satu kesalahan Parajika melibatkan dirinya
dalam pengusiran dari sangha. Dia tidak dapat ditahbiskan lagi ke dalam
sangha. Kesalahan-kesalahan yang disebut di atas adalah parajika. Kesalahan
sanghavasesa akan dinyatakan dalam bagian berikutnya.

II. Sanghavasesa
(Pali : Sanghadisesa)
Bagian kedua

Ada 13 kesalahan Sanghavasesa. Kesalahan Sanghavasesa mendekati
pengusiran/pengeluaran dari sangha dan yang memerlukan pengakuan dihadapan
Sidang dan pengampunan oleh Sidang Sangha. Kesalahan-kesalahan itu adalah :
1. Seorang Bhiksu yang dengan sengaja mengeluarkan air maninya akibat
masturbasi apapun, terkecuali dalam impian, telah melakukan satu kesalahan
Sanghavasesa
2. Seorang Bhiksu yang dengan birahi menyentuh bagian apapun dari tubuh
seorang wanita, telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa
3. Seorang Bhiksu yang menjalani pemikiran birahi, dan berbicara dengan
kata-kata yang menimbulkan birahi dengan seorang wanita telah melakukan satu
kesalahan Sanghavasesa
4. Seorang Bhiksu yang mempunyai nafsu birahi dan meminta seorang wanita
mengikutnya dalam hubungan kelamin, telah melakukan satu kesalahan
Sanghavasesa
5. Seorang Bhiksu yang bertindak sebagai comblang (perantara), baik dalam
perkawinan yang sah dan terbuka maupun yang secara diam-diam dan sumbang
telah melakukan kesalahan Sanghavasesa
6. Seorang Bhiksu yang membangun kamar atau tempat tinggal untuk dirinya
sendiri, harus pertama-tama mendapat ijin dari kepala Vihara atau Sangha.
Kamar itu harus dibangun sesuai dengan ukuran biasa, yaitu panjang 12 kheub
dan lebar 7 kheub (1 kheub =1/4 meter atau 10 inchi). Jika dia gagal
mendapatkan ijin kepala vihara atau Sangha yang akan menunjukkannya tempat
untuk membangunya atau jika ia menbangunnya lebih dari ukuran tersebut, dia
telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
7. Seorang Bhiksu yang membangun kamarnya dengan sokongan seorang pengabdi
diijinkan membangunnya lebih dari ukuran tersebut, tetapi dia harus lebih
dahulu mendapat ijin kepala vihara atau Sangha dan dia harus membangunnya di
tempat yang telah ditunjuk. Jika tidak berbuat demikian, maka dia melakukan
kesalahan Sanghavasesa.
8. Jika seorang Bhiksu menjadi marah terhadap Bhiksu lain, membuat tuduhan
palsu dari kesalahan Parajika terhadap bhikkhu lainnya itu, dan jika tuduhan
palsu itu diketahui oleh Bhiksu lainnya maka dia telah melakukan pelanggaran
Sanghavasesa.
9. Jika seorang Bhiksu menginginkan balas dendam terhadap Bhiksu lain,
memfitnah bhiksu itu telah melakukan Parajika, dan jika fitnah itu diketahui
oleh bhiksu lain dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
10. Jika seorang Bhiksu mencoba memecah belah sangha, dan walaupun tiga kali
bhiksu-bhiksu lain berusaha menasihatinya dia masih meneruskan maksudnya
itu, dia telah melakukan satu kesalahan Sanghavasesa.
11. Jika seorang Bhiksu turut melindungi bhiksu yang telah memecah belah
sangha, dan walaupun telah tiga kali dinasehati oleh bhiksu lain dan dia
tidak menganggapnya maka ia telah melakukan kesalahan Sanghavasesa
12. Jika seorang Bhiksu yang melanggar Pratimoksa berkelakuan seperti orang
yang sudah berkeluarga dan dengan demikian kehilangan penghargaan dari
bhiksu-bhiksu yang lain, ia mengeluh bahwa bhiksu-bhiksu lain itu salah
mengerti terhadap dirinya, dan jika setelah dua peringatan tak berhasil dan
Bhiksu-bhiksu lainnya memberi peringatan ketiga dan memintanya memperbaiki
kelakuannya, dan dia tidak menghiraukannya, ia telah melakukan kesalahan
Sanghavasesa
13. Jika seorang Bhiksu yang keras kepala, yang sukar untuk bergaul
dengannya oleh karena sukar diajak bicara dan yang kelakuannya bertentangan
dengan ajaran, balas menjawab teguran yang ditujukan untuknya, jika setelah
dua peringatan tidak mampu merubahnya,maka bhiksu yang lain memberi
peringatan ketiga dan meminta untuk memperbaiki tingkah lakunya, dan dia
terus berkelakuan tidak pantas maka dia telah melakukan satu kesalahan
Sanghavasesa.

Sanghavasesa adalah bagian kedua dari Peraturan pratimoksa yang terdiri dari
13 pasal. Semua 13 pasal ini merupakan kesalahan besar setelah Parajika.

Ksamayati
Keputusan dan Hukuman

Aturan-aturan untuk pengakuan dan pengampunan adalah sebagai berikut :
1. Si pelanggar harus mengakui kesalahannya di hadapan sesama bhiksu yang
jumlahnya tidak kurang dari 20. Jika tidak, kesalahannya tidak dapat
diampuni.
2. Si pelanggar harus melaksanakan Mdnatta, istilah untuk penebusan, yaitu
duduk seorang diri di tempat tersendiri dan melafal doa pertobatan untuk
meminta pengampunan selama 6 malam penuh.
Dua pasal di atas adalah upacara pengakuan biasa bagi bhiksu yang telah
melakukan Sanghavasesa. Untuk 9 pasal pertama seorang Bhiksu dikatakan
melakukan kesalahan tepat pada saat pelanggaran. Untuk 4 pasal akhir seorang
bhiksu dikatakan melakukan kesalahan hanya setelah tiga peringatan. Jika
seorang bhikkhu gagal untuk mengakui kesalahannya dia dapat diputuskan
hubungannya dari sangha. Kesalahan-kesalahan di atas disebut Sanghavasesa.

III. Aniyata (P = S)
Bagian Ketiga

Kata aniyata diinterpretasikan Karma yang tak tertentukan atau yang tak
terbataskan. Aniyata adalah perbuatan yang cirinya tidak dapat ditetapkan
dan yang terbuka pada pemeriksaan. Ada dua kesalahan aniyata, yaitu :
1. Seorang Bhiksu yang duduk sendirian dengan seorang wanita dalam suatu
tempat yang tertutup dan diduga mungkin telah melakukan satu kesalahan
asusila, yaitu satu kesalahan Parajika, Sanghavasesa atau
Naihsargika-Prayascittika, telah melakukan Aniyata. Jika ia mengaku bersalah
akan satu atau lain jenis kesalahan, maka jenis hukuman yang bersangkutan
akan dijatuhkan kepadanya.
2. Seorang bhiksu yng duduk sendirian dengan seorang wanita disuatu tempat
terbuka, tapi tidak kelihatan dan ternyata telah melakukan satu kesalahan
asusila, baik Sanghavasesa ataupun Naihsargika prayascittika. Dia melakukan
satu kesalahan Aniyata.
Dua kesalahan aniyata ini adalah antara Sanghavasesa dan Naihsargika
prayascittika dan kedua-duanya itu adalah kesalahan yang tidak ditentukan.
Jika Bhiksu itu mengaku bersalah akan satu jenis kesalahan, maka hukuman
jenis itu akan dijatuhkan atas dirinya.

Ksamayati
Keputusan dan Hukuman

Seorang Bhiksu yang melanggar salah satu dari kesalahn-kesalahan ini
dikatakan malakukan satu kesalahan Aniyata.
Akan tetapi kesalahan yang dilakukan adalah dalam keadan tidak diketahui
secara pasti, tidak dibatasi denganjelas, dan tidak mempunyai satu
halpenting yang pasti, oleh karena itu memerlukan pemeriksaan yang lebih
mendalam pada Sidang Sangha.
Kesalahan Naihsargika – Prayascittika akan dinyatakan dalam bagian
berikutnya.

IV. Naihsargika – Prayascittika
(Pali : Nissaggiya Pacittiya)
Bagian keempat

Ada 30 kesalahan Naihsargika- Prayascittika. Semua kesalahan itu adalah
kesalahan yang ringan (disebut Lahukapatti) sesudah kesalahan Aniyata,
seperti berikut :
1. Seorang Bhiksu boleh menyimpan satu pakaian yang berlebihan tetapi tidak
perlu, yang telah diberikan kepadanya untuk selama 10 hari. Jika dia
menyimpannya lebih dari 10 hari, dia telah melakukan
Naihsargika-Prayascittika.
2. Jika seorang Bhiksu tidur tanpa pakaian, bahkan hanya untuk 1 malam,
terkecuali diumumkan oleh bhiksu atau Sangha bahwa pikirannya kurang waras,
dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
3. Seorang Bhiksu yang telah memperoleh sepotong kain yang tidak cukup
untuk satu pakaian, dengan harapan akan mendapatkan kekurangannya, boleh
menyimpan kain itu selama satu bulan. Jika dia menyimpannya lewat dari
jangka waktu itu dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
4. Jika seorang Bhiksu menerima satu pakaian dari tangan seorang bhiksuni
yang bukan keluarganya, terkecuali kalau dia menerimanya sebagai pertukaran
dengan sesuatu barang, dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
5. Jika seorang bhiksu memberi perintah pada seorang pada seorang bhiksuni
yang bukan sanak keluarganya untuk mencuci, atau mencelup, atau menggosok
jubah untuknya, dia telah melakukan Naihsargika-prayascittika.
6. Jika seorang bhiksu meminta sehelai jubah dari seorang berkeluarga
laki-laki atau perempuan yang bukan sanak keluarganya, dan jika dia
memperolehnya,maka dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika (dalam hal
ini ada satu pengecualian, yaitu kalau ubahnya yang tua tercuri atau hilang,
terbakar atau hanyut dalam air)
7. Seorang bhikkhu yang telah kehilangan boleh meminta jubah untuk menutupi
badannya. Jika dia meminta dan memperolah jubah yang lebih dari itu (yang
hilang), dia telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
8. Jika seorang bhikkhu mengetahui bahwa seorang umat akan memberi jubah
dan ia menginginkan yang lebih baik mutunya dan lebih mahal harganya dari
yang umat bermaksud memberinya, dia telah melakukan Naihsargika-
Prayascittika
9. Jika seorang bhikkhu mengetahui bahwa banyak umat akan memberi jubah
secara kolektif, dan ia menginginkan yang mutunya lebih baik dan harganya
lebih mahal, dan dia pergi meminta kepada mereka serta memperolehnya, dia
telah melakukan Naihsargika-Prayascittika.
10. Bilamana Raja, brahmana, Pembesar atau Bangsawan mengirim sejumlah uang
dengan perantaraan seorang pesuruh kepada seorang bhiksu untuk membeli jubah
, dia harus meminta pesuruh itu memberikan uang itu kepada seorang
Vaiyavachakarana atau Vaiyavrtya (seorang berkeluarga yang melaksanakan
pelajaran pada seorang bhikshu). Setelah pesuruh itu memberikan uang itu
kepada Vaiyavachakarana diberitahukannya pada bhiksu tersebut bahwa bilamana
dia memrrlukan pakaian did boleh mendapatkannya dari Vaiyavachakarana. Jika
bhiksu itu meminta pakaian Vaiyavachakarana 3 kali dan gagal mendapatkannya,
dia harus pergi dan berdiri agar tertampak pada si Vaiyavachakarana untuk 6
kali. Jika dia memintanya lebih dari tiga kali atau berdiri untuk dilihat
oleh si Vaiyavachakarana lebih dari 6 kali dia telah melakukan Naihsargika
Prayascittika. Dalam hal ini, bhiksu yang bersangkutan harus pergi dan
memberitahukan kepada pesuruh tadi dan memintanya agar pergi dan mengambil
uang itu kembali dari si Vaiyavachakarana tersebut.
11. Jika seorang bhiksu membikin satu kain untuk bersila dari bulu binatang
bercampurkan sutra, dia melakukan Naihsargika-Prayascittika
12. Jika seorang bhiksu membikin satu kain untuk bersila seluruhnya dari
warna hitam, dia telah melakukan satu Naihsargika Prayascittika
13. Seorang bhiksu diijinkan membikin kain untuk bersila menurut rumus yakni
2 bagian hitam, 3 bagain putih, dan 4 bagian merah. Jika dia membikinnya
tidak menurut rumus tersebut, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
(Dalam bahasa Pali, warna 2 itu adalah : 2 bagian putih, 1 putuh, 1 merah).
14. Seorang bhiksu membikin kain untuk bersila dan mempergunakannya untuk 6
tahun. Jika sebelum 6 tahun dan tanpa alasan dia membikin pula satu kain
untuk bersila, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
15. Bilamana seorang bhiksu membikin satu kain untuk bersila yang baru, dia
harus memotong 1 kheub dari kain untuk bersila yang lama, dan
mencampurkannya dengan yang baru agar memudarkan warna-warnanya. Jika dia
tdak berbuat demikian, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
16. Jika seorang bhiksu berjalan kaki dalam satu perjalanan yang jauh dan
orang memberinya bulu binatang (wol), dia boleh menerimanya dan membawanya
dalam tangannya sejauh 3 yojana saja. (1 yojana = 10 mill). Lewat jarak
tersebut jika tidak ada orang membantu mambawakannya dan dia membawa sendiri
maka dia telah melakukan pelanggran Naihsargika Prayascittika.
17. Jika seorang bhiksu memerintah seorang bhiksuni yang bukan sanak
keluarganya untuk mnyelup dan menyisir bulu bnatang (wol) dia telah
melakukan Naihsargika Prayascittika.
18. Jika seorang Bhksu menerima emas atau perak apapun, baik dengan
tangannya sendiri ataupun melalui orang lain yang menyimpankan untuknya, dia
telah melakukan Naihsargika Prayascitika.
19. Seorang bhiksu yang berniaga dalam barang-barang berharga seperti emas,
perak, batu giok, dan sebagaianya, telah melakukan Naihsargika
Prayascittika.
20. Jika seorang bhiksu mengambil keuntungan dari seorang berkeluarga dalam
tukar menukar barang, dia melakukan satu Naihsargika Prayascittika
21. Seorang bhiksu boleh menyimpan Patra (mangkok untuk minta sedekah) yang
dengan tidak disengaja diberikan kepadanya untuk lamanya 10 hari. Jika dia
menyimpannya lebih dari 10 hari, dia telah melakukan satu Naihsargika
Prayascittika.
22. Jika seorang bhiksu memiliki patra yang retaknya tidak melebihi 5 celah,
meminta seorang berkeluarga untuk memberinya mangkok yang baru, dia telah
melakukan Naihsargika Prayascittika. Dia boleh meminta mangkok baru dari
sesama bhiksu dan dia harus memilih satu yang mutunya lebih rendah.
23. Seorang bhiksu yang mendapat benang yang belum tersisir, meminta seorang
penenun yang bukan sanak keluarganya untuk menenunnya menjadi kain untuknya,
telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
24. Jika seorang bhiksu mengetahui ada pengikut berkeluarga yang telah
memesankain guna ditenun untuknya, dan dia pergi dan meminta tukang tenun
untuk menukarnya dengan yang lebih baik dan berjanji untuk memberi ganti
rugi, dia telah melakukan Naihsargika- Prayascittika.
25. Jika seorang bhiksu yang telah memberikan kain kepada bhiksu lain,
kemudian menjadi marah pada bhiksu itu dan mengambil kembali kain itu
dengan kekerasan, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika
26. Seorang bhiksu yang sakit yang menerima persembahan seperti mentega,
susu ngadi, madu atau gula ceng (molasse), boleh menyimpannya selama 7 hari.
Jika dia menyimpannya lebih dari 7 hari, dia telah melakukan Naihsargika
Prayascittika.
27. Bila satu bulan sebelum musim panas, seorang bhiksu boleh mencari kain
guna dibuat menjadi jubah hujan, dan dalam waktu 15 hari sebelum musim hujan
sudah membuat kain itu menjadi jubah hujan. Jika dia mencari dan menggunakan
jubah hujan itu sebelum waktu yang ditentukan, dia telah melakukan
Naihsargika Prayascittika
28. Jika 10 hari sebelum musim varsa (vassa) seorang penderma menyampaikan
pada seorang bhiksu pakaian untuk bhiksu-bhiksu dalam upacara pahala
pakaian, Bhiksu itu belum menyimpannya tetapi dia harus tidak menyimpannya
lebih dari satu bulan sesudah mulai varsa.. Jika dia menyimpannya lebih dari
jangka waktu tersebut dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.
29. Setelah jangka waktu satu bulan dari mulai varsa, seorang bhiksu yang
tinggal dihutan (yang disebut Sayanasana, atau yang tempat tidurnya dan
tempat duduknya di hutan) diijinkan menyimpan sebagian dari pakaiannya di
dalam rumah didekatnya untuk lamanya 6 malam saja. Jika dia mmberikan
pakaiannya dirumah itu lebih dari jangka waktu tersebut, dia telah melakukan
satu Naihsargika Prayascittika.
30. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seorang akan memberikan sesuatu
kepada bhiksu lain dan dia menyimpangkan pemberian itu untuk bhiksu lain
untuk dirinya sendiri, dia telah melakukan Naihsargika Prayascittika.

Ksamakarma
(Permintaan Ampun)

Tiga puluh Naihsargika Prayascittika yang tersebut diatas merupakan
kesalahan yang ringan. Seorang bhiksu yang melakukan kesalahan itu harus
mengakui kesalahan atau kesalahannya – kesalahannya di hadapan Sidang Sangha
agar dapat dibersihkan dan dimurnikan.

V. Prayascitta
(Pali : Pacittiya)
Bagian Kelima
Prayascitta adalah bagian kelima dalam vinaya yang terdiri dari 90
pelanggaran, untuk mana diperlukan penebusan kesalahan.
Pelanggaran-pelanggaran itu adalah sebagai berikut:
1. Jika seorang bhiksu berbohong, baik disengaja atau tidak disengaja dia
telah melakukan Prayascitta.
2. Jika seorang bhiksu memakai istilah kutukan dalam pembicaraan dia telah
melakukan Prayascitta.
3. Jika seorang bhiksu berbicara secara mengejek atau menyindir, dia telah
melakukan Prayascitta
4. Jika seorang bhiksu bermalam disuatu rumah yang hanya ada wanita atau
wanita-wanita dan tiada pria, dia telah melakukan Prayascitta
5. Jika seorang bhiksu tidur seranjang dengan seorang sramanera atau orang
berkeluarga lebih dari 3 malam dia telah melakukan Prayascitta.
6. Jika seorang bhiksu mengajar Dharma pada seorang sramanera atau seorang
berkeluarga dan mengucapkan kata-kata bersama-sama dengannya, dia telah
melakukan Prayascitta
7. Seorang bhiksu yang menceritakan kesalahan bhiksu lain kepada seorang
sramanera atau orang berkeluarga dia telah melakukan Prayascitta.
8. Seorang Bhiksu yang memberitahukan seorang Sramanera atau orang
berkeluarga tentang suksesnya dalam hal Bodhi yang sebenarnya telah
dimilikinya, telah melakukan Prayascitta.
9. Jika seorang bhiksu mengajar dharma pada seorang wanita dengan lebih dari
6 perkataan, terkecuali bila hadir seorang pria, dia telah melakukan
Prayascitta
10. Jika seorang bhiksu menggali tanah, baik dengan tangannya sendiri
ataupun dengan petunjuk-petunjuknya, dia telah melakukan Prayascitta.
11. Jika seorang bhiksu menyebabkan tumbuh-tumbuhan tercabut dari tempatnya,
dia telah melakukan Prayascitta.
12. Jika seorang bhiksu sengaja bebicara secara samar-samar, dia telah
melakukan Prayascitta.
13. Jika seorang bhiksu membenci bhiksu lain dan mencelanya, dia telah
melakukan Prayascitta.
14. Jika seorang bhiksu mengambil tempat tidur, atau bangku atau kursi milik
sangha, dan meletakkanya di tempat terbuka dan jika dia tidak membawanya
kembali atau meminta seorang untuk mengembalikannya, Dia telah melakukan
Prayascitta
15. Jika seorang bhiksu mengambil tempat tidur milik Sangha untuk tidur di
kamar bhiksu, dan jika dia tidak membawanya kembali ataupun meminta
seseorang untuk mengembalikannya maka dia melakukan Prayascitta.
16. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa satu kamar didiami bhiksu lain dan
penuh dengan barang-barang dan harta benda, jika dia pergi tidur di dalam
kamar itu sehingga bhiksu lainnya itu harus menyediakan tempat untuknya, dia
telah melakukan Prayascitta.
17. Jika seorang bhiksu menjadi marah pada bhiksu lain dan mengusirnya dari
kamar sangha, atau menariknya keluar, atau memerintahkan orang lain untuk
menariknya keluar dengan kekerasan dia telah melakukan Prayascitta.
18. Jika seorang bhiksu memasuki kamar bhiksu lain dan berbaring di atas
tempat tidur atau duduk di atas bangku yang dipergunakan untuk menaruh
barang-barang dan harta benda, dia telah melakukan Prayascitta.
19. Seorang bhiksu yang mengetahui ada mahkluk-makhluk hidup di air lalu
memercikkan dan menyuruh orang lain memercikkan air itu ke tanah atau
rumput, dia telah melakukan Prayascitta.
20. Jika seorang bhiksu memplester atap pintu atau jendela kamarnya dengan
tanah dan kapur dia diijinkan untuk memplesternya dengan tiga lapis plaster
saja. Jika dia membuat lebih dari 3 plaster maka dia melakukan Prayascitta.
21. Jika seorang bhiksu yang bukan ditunjuk sebagai guru pada para bhiksuni
mengajarkan dharma kepada para bhiksuni, dia telah melakukan Prayascitta.
22. Jika seorang Bhiksu yang ditunjuk sebagai guru para bhiksuni mengajarkan
dharma pada seorang bhiksuni setelah matahari turun dia telah melakukan
Prayascitta.
23. Jika seorang bhiksu yang membuat tuntutan palsu terhadap bhiksu lain
yang telah diangkat sebagai guru para bhiksuni bahwa dia mengajar mereka
demi untuk keuntungan, dia telah melakukan Prayascitta.
24. Jika seorang bhiksu memberi pakaian pada seorang bhiksuni yang bukan
sanak keluarganya, terkecuali dia memberinya dalam tukar menukar dengan
barang lain dia telah melakukan Prayascitta.
25. Jika seorang bhiksu menjahit pakaian untuk seorang bhiksuni yang bukan
sanak keluarganya, dia telah melakukan Prayascitta.
26. Jika seorang bhiksu duduk sendirian dengan seorang bhiksuni di tempat
yang sepi, dia telah melakukan Prayascitta.
27. Jika seorang bhiksu mengundang seorang bhiksuni untuk menemaninya dalam
satu perjalanan ke suatu tempat, dan kalau dia berjalan ditemani oleh
bhiksuni itu lebih jauh dari jaraknya satu desa, dia telah melakukan
Prayascitta atau satu pengecualian, yakni dalam hal perjalanan itu melalui
tempat-tempat sepi..
28. Jika seorang bhiksu mengundang seorang bhiksuni untuk menemaninya dalam
suatu perjalanan dengan perahu hilir atau mudik, dia telah melakukan
Prayascitta. Ada satu pengecualian, yakni menyeberangi sungai.
29. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seorang bhiksuni telah menyuruh
seorang yang telah berkeluarga untuk memasak makanan yang baik untuknya dan
jika ia memakan makanan itu, dia telah melakukan Prayascitta. Terkecuali
orang berkeluarga itu sendiri sebelumnya telah bermaksud untuk berbuat
demikian.
30. Jika seorang bhiksu mengundang seorang wanita untuk menemaninya dalam
perjalanan dan jika dia berjalan ditemani oleh seorang wanita itu lebih jauh
dari jarak satu desa, dia telah melakukan Prayascitta.
31. Seorang bhiksu yang tidak sakit diijinkan mengambil makan satu kali saja
dirumah-rumah penderita. Jika dia makan lebih dari satu kali, dia telah
melakukan Prayascitta.
32. Bilamana seorang pengikut (dayaka) mengundang seorang bhiksu tertentu
untuk pergi ke rumahnya untuk menerima pemberian makanan, dan jika pengikut
itu menyebutkan salah satu nama lima bhojananiya 95 macam makanan yang boleh
dimakan, yaitu nasi, kue segar, kue kering, ikan dan daging yang
diberikannya pada bhiksu itu, jika setelah kembali dari tempat tersebut
dengan makanan tersebut dia memakan dan menbagikannya pada lebih dari 4
bhiksu lainnya, dia telah melakukan Prayascitta. Terkecuali dalam hal
berikut : bhiksu kelima itu sedang sakit demam, atau sibuk dengan civarakala
(waktu tertentu untuk membuat pakaian), atau dalam perjalanan kaki yang
jauh, atau dalam perjalanan via dalam air, atau sedang tinggal bersama-sama
bhiksu lain, dan makanan yang diberikan kepadanya tidak cukup, atau makanan
itu milik sangha.
33. Jika seorang bhiksu telah menerima baik undangan untuk makan di suatu
tempat kediaman tertentu dan dia tidak pergi kesana, tetapi dia tidak pergi
ke sana, tetapi dia pergi makan ditempat lain, dia telah melakukan
Prayascittika.. Terkecuali dalam hal-hal berikut; dia sedang bepergian dalam
perjalanan yang jauh, atau sedang menderita sakit demam, atau sibuk dengan
Civarakala, atau mnghadiri pertemuan Sangha (dalam Bahasa Pali tidak
diuraikan).
34. Jika seorang bhiksu pergi meminta sedekah di suatu desa dan diberi
orang banyak kue, dia hanya diijinkan menerima tiga mangkok penuh saja. Dan
jika dia menerima lebih dari 3 mangkok penuh dia telah melakukan
Prayascitta.
35. Setelah seorang bhiksu memakan dan berhenti makan, dia tidak diijinkan
makan suatu makanan tambahan , terkecuali dia sakit. Jika dia berbuat
demikian dia telah melakukan Prayascitta.
36. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa bhiksu lain telah makan dan telah
berhenti makan, dan dia memikatnya untuk melanggar vinaya dengan
menganjurkannya agar makan lagi, dan jika bhiksu itu memakannya, dia telah
melakukan Prayascitta.
37. Jika seorang bhiksu makan diantara lewat tengah hari dan keesokan
paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
38. Jika seorang Bhiksu menerima makanan dan menyimpannya untuk semalam dan
memakannya esok paginya, dia telah melakukan Prayascitta.
39. Jika seorang Bhiksu memakan suatu makanan yang tidak diserahkan
kepadanya, dan jika makanan itu melewati tenggorokannya, dia telah melakukan
Prayascitta. Satu pengecualian ialah untuk air dan Dartakastha (ranting
pohon salix untuk membersihkan gigi)
40. Jika seorang bhiksu yang tidak sakit meminta Bhojaniya seperti nasi
dicampur susu kental, mentega, minyak, madu, molasse, ikan, daging, susu dan
susu ngadi dari seorang yang bukan sanak keluarganya dia telah melakukan
Prayascitta.
41. Jika seorang bhiksu memberi makanan dengan tangannya sendiri kepada
seorang pertapa bukan Buddhis dia telah melakukan Prayascitta., lain yang
sedang makan dia telah melakukan Prayascitta.
42. Jika seorang Bhiksu menerima undangan untuk makan di suatu tempat
tertentu, dan sebelum atau sesudah itu dia ingin pergi ke suatu tempat lain,
dia harus memberitahukannya kepada sesama bhiksu didalam viharanya tentang
keperluannya. Jika dia tidak berbuat demikian dia telah melakukan
Prayascitta.
43. Jika seorang bhiksu memaksa menyelipkan dirinya diantara bhiksu-bhiksu
lain yang sedang makan, dia telah melakukan Prayascitta.
44. Jika seorang bhiksu duduk sendiri dengan seorang wanita di tempat sepi,
dia telah melakukan Prayascitta.
45. Jika seorang bhiksu duduk sendirian dengan seorang wanita di tempat
terbuka, dia telah melakukan Prayascitta.
46. Dalam hal seorang Bhiksu mengundang bhiksu lain untuk pergi minta
sedekah bersama-sama dengannya, jika setelah setengah perjalanan dia
mengusir bhiksu itu, dengan demikian ia menjadi bebas untuk melakukan
perbuatan asusila, dia telah melakukan Prayscitta.
47. Bilamana seorang berkeluarga memberikan dengan sukarela Catu-Pratyava
(Empat kebutuhan seorang bhiksu, yaitu pakaian, makanan, tempat tidur, dan
obat-oabatan) seorang bhiksu diijinkan menerimanya untuk keperluan lamanya 4
bulan saja. Jika dia memintanya lebih banyak, dia telah melakukan
Prayscitta, terkecualai orang berkeluarga itu atas kemauannya sendiri ingin
meneruskannya.
48. Dipersenjatai dan siap untuk bertempur, dia telah melakukan Prayscitta
terkecuali di mempunyai alasan cukup.
49. Jika seorangbhiksu harus mengunjungi tentara, dia harus tidak tinggal
dalam tangsi tidal kebih dari 3 hari. Jika dia tinggal lebih dari 3 hari dia
telah melakukan Prayscitta.
50. Jika seorang bhiksu berada bersama pasukan tentara untuk 3 hari. Dia
tdak diijinkan turuk ke medanperang, memasukiperkemahan tentara atau
erkemahan sementara dimana tentara berkuda, gajah, kereta perang dan pasukan
infanteri yang siap sedia untuk bertempur. Jika dia berbuat demikian di telh
melakukan Prayascitta.
51. Jika seorang bhiksu meminum- minuman keras, dia telah melakukan
Prayascitta.
52. Jika seorang Bhiksu berenang untuk bersenang, dia telah melakukan
Prayascitta
53. Jika seorang bhiksu menggelitiki seorang bhiksu lain, dia telah
melakukan Prayascitta.
54. Jika seorang bhiksu tidak mengindahkan peraturan-peraturan dan tidak
menghiraukan peringatan-peringatan bhiksu lain, dia telah melakukan
prayascitta.
55. Jika seorang bhiksu menakuti seorang bhiksu lain dengan hantu-hantu dia
telah melakukan Prayascitta.
56. Seorang Bhiksu yang hidup di India Tengah diijinkan mandi sekali dalam
15 hari dan jika dia mandi sebelum 15 hari di dikatakan telah melakukan
Prayascitta. Terkecuali dalam hal-hal berikut dia merasa panas, gelisah,
atau banyak berkeringat sehabis bekerja, atau jika pada musim hujan, atau
kalau dia sedang berada dalam perjalanan
57. Jika seorang bhiksu tidak sakit dan dengan tangannya sendiri menyalakan
api yang besar untuk menghangatkan badannya, dia telah melakukan
Prayascitta, Tetapi jika dia menyalakan api untuk keperluan yang lain dia
bebas dari kesalahan
58. Jika seorang bhiksu menyembunyikan patra bhiksu lain atau pakaiannya
atau kain untuk bersila, kotak jarum, ikat pinggangnya, ataupun
barang-barang lainnya, baik dengan tangannya sendiri atau dengan
petunjuknya, dia telah melakukan Prayascitta.
59. Jika seorang Bhiksu dengan tangannya sendiri memberikan Vikalpacivara
(berarti : pakaian yang seorang bhiksu berikan kepada bhiksu lain untuk
dipergunakan semaunya sendiri) kepada bhiksu lain atau bhiksuni atau
sramanera-sramaneri, dan kemudian mempergunakan pakaian itu tanpa ijin orang
pada siapa pakaian itu telah diberikan, maka dia telah melanggar hak orang
lain dan telah melakukan Prayascitta
60. Jika seorang bhiksu menerima pakaian yang baru dari seorang penyokong,
dia harus membuat satu Bindu (tanda bundaran dengan tanah liat atau warna
biru atau hitam) pada satu sudut dari pakaian itu sebelum menggunakannya.
Jika dia tidak berbuat demikian maka dia telah melakukan Prayascitta.
61. Seorang bhiksu yang dengan sengaja mengambil jiwa suatu binatang telah
melakukan Prayascitta.
62. Seorang bhiksu yang mengetahui adanya kehidupan di dalam air, dan
meminum air itu tanpa disaring, telah melakukan Prayascitta.
63. Jika seorang bhiksu yang mengetahui bahwa Adhyakarana Samadha (salah
satu tujuan Vinaya untuk menjauhi pertengkaran) telah dipertimbangkan secara
benar oleh sangha, merasa tidak puas dan meminta dengan sombong satu
pertimbangan baru, dia telah melakukan Prayascitta.
64. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa orang lain telah melakukan suatu
kesalahan dan merahasiakan fakta ini terhadap bhiksu-bhiksu lain, atau
menyimpan rahasia ini, dia telah melakukan Prayascitta.
65. Jika seorang bhiksu mengetahui seorang pemuda belum mencapai umur dua
puluh dan mentahbiskannya, dia telah melakukan Prayascitta.
66. Jika seorang bhiksu yang mengakui kesalahannya dihadapan bhiksu lain,
dan kesalahannya diampuni dengan penebusan menurut aturan Vinaya, kemudian
menyalahkan bhiksu itu karena menyalahartikan sebagai pembuat kesalahan atau
pelanggar, dia telah melakukan Prayascitta.
67. Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seseorang adalah penyerang atau
perusak dan mengundangnya untuk menemaninya dalam suatu perjalanan kaki. Dan
jika dia berjalan ditemani oleh orang itu lebih jauh dari jarak satu desa,
dia telah melakukan Prayascitta.
68. Jika seorang bhiksu memprotes ajaran-ajaran Sang Buddha dan semua bhiksu
dengan suara bulat menyatakannya salah, dan jika setelah tiga percobaan
untuk menyadarkannya dan masih bertahan dan mengulangi protesnya dia telah
melakukan Prayascitta.
69. Jika seorang bhiksu bergaul dengan bhiksu lain yang memprotes
ajaran-ajaran Sang Buddha, dan melakukan upacara Sanghakarma (dua kali
sebulan membaca larangan Sangha dan pengakuan kesalahan bersama atau makan
atau tidur dengannya) dia telah melakukan Prayascitta.
70. Jika seorang bhiksu menganjurkan seorang sramanera yang memprotes
ajaran-ajaran Sang Buddha, atau mengambil pihaknya, atau menunjangnya atau
makan, atau tidur bersama dengannya, dia telah melakukan Prayascitta.
71. Jika seorang Bhiksu berkelakukan congkak, dan menjawab secara
samar-samar kepada bhikhu lain yang memperingatkannya tentang kelakuannya
itu, dia telah melakukan Prayascitta.
72. Jika seorang bhiksu mengganggu bhiksu lain dalam pembacaan Peraturan
Patimokha (Vinaya Empat Bagian) di luar kepala, ia telah melakukan
Prayascitta.
73. Pada saat pembacaan larangan-larangan itu di dalam sidang seorang bhiksu
yang telah melakukan pelanggaran itu dengan berdusta mengatakan bahwa dia
baru saja mengetahui larangan itu, dan seorang bhiksu lain yang mengetahui
alasannya yang bohong itu, membukakan kesalahannya jika dia tidak mengakui
kesalahannya dia telah melakukan Prayascitta.
74. Jika seorang bhiksu yang telah melakukan penebusan kesalahan dihadapan
sangha dan kemudian menyalahkan Sangha, dia telah melakukan Prayascitta.
75. Jika seorang bhiksu yang hadir pada sidang Sangha, meninggalkan Sidang
selagi sedang dipertimbangkannya suatu perkara tanpa memberi sesuatu alasan,
dia telah melakukan Prayascitta.
76. Jika seorang bhiksu dengan sengaja menyebabkan gangguan kepada
bhiksu-bhiksu lain, dia telah melakukan Prayascitta.
77. Jika terdapat pertengkaran antara dua bhiksu, seorang bhiksu
menyembunyikan darinya untuk mendengarkan dan kemudian memberitahukan pada
salah seorang yang bertengkar itu, dia telah melakukan Prayascitta.
78. Seorang bhiksu yag menjadi marah pada bhiksu lain dan memukulnya telah
melakukan Prayascitta.
79. Seorang bhiksu yang menjadi marah dan mengangkat tangannya seakan
hendak memukul bhiksu lain, telah melakukan Prayascitta.
80. Seorang bhiksu yang membuat tuduhan palsu dari kesalahan Sangahavasesa
tehadap bhiksu lain, telah melakukan Prayascitta.
81. Jika seorang bhiksu yang tidak mendapat ijin memasuki kamar di mana raja
sedang duduk bersama permaisurinya, dia telah melakukan Prayascitta.
82. Seorang bhiksu yang melihat suatu barang jatuh ke tanah dan menyimpannya
untuk keperluan sendiri atau memberikannya kepada orang lain telah melakukan
Prayascitta. Jika suatu barang jatuh ke tanah di dalam vihara atau kamarnya,
dia harus menyimpanya untuk dikembalikan kepada pemiliknya yang dikenalnya.
83. Jika seorang bhiksu harus pergi kesalah satu rumah di suatu desa pada
malam hari, dia harus memberitahukan tujuanya kepada seseorang sesama
bhiksu. Jika dia gagal untuk berbuat demikian dia telah melakukan
Prayascitta.
84. Jika seorang bhiksu membuat tempat tidurnya sendiri dia harus membuatnya
dengan tinggi kakinya 8 inchi, diukur dari papan tempat tidur pada mana kaki
itu dipakukan. Jika dia membuat kaki tempat tidurnya lebih tinggi dari itu,
dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus memotong kaki yang terlalu
panjang itu sebelum mempergunakannya, jika tidak dia tidak bebas dari
kesalahan.
85. Jika seorang bhiksu membuat tempat tidurnya dan melapisnya dengan kapuk
dia telah melakukan Prayascitta. dia harus menyingkirkan kapuk itu dari
tempat tidurnya sebelum mempergunakannya jika tidak dia tidak akan bebas
dari kesalahan.
86. Jika seorang bhiksu membuat kotak jarumnya dari tulang, tanduk atau
gading, dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus menyebabkan satu pecahan
atau celah didalamnya sebelum mempergunakannya, jika tidak dia tidak akan
bebas dari kesalahan.
87. Jika seorang bhiksu membuat kain untuk duduk (nisidana) dia harus
membuatnya menurut ukuran yang diterima yaitu, panjangnya 2 kheub. Lebar
11/2 dan 1 kheub di pinggiran keliling kain itu. Jika dia membuatnya lebih
dari ukuran yang ditentukan dia telah melakukan Prayascitta.
88. Jika seorang bhiksu membuat pakaian dalam untuk bagian bawah badannya,
dia diijinkan membuatnya menurut ukuran yang diterima, yaitu panjang 4
kheub, lebar 2 ½ kheup. Jika dia membuatnya lebih dari ukuran tersebut, maka
dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus memotong bagian yang terlalu
lebar atau terlalu panjang sebelum menggunakannya ,Jika tidak maka dia
tidak akan terbebas dari kesalahan.
89. Jika seorang bhiksu membuat jubah hujan, dia harus membuatnya menurut
ukuran yang diterima, yaitu panjang 6 kheub dan lebar 2 ½ kheub. Jika dia
membuatnya lebih besar dari itu dia telah melakukan Prayascitta. Dia harus
memotong bagian yang terlalu panjang dan terlalu lebar sebelum
mengunakannya, Jika tidak dia tidak akan terbebas dari hukuman.
90. Jika seorang bhiksu membuat civaranya dengan ukuran yang sama atau lebih
besar dengan civara yang dipergunakan oleh Sangha Buddha, Dia telah
melakukan Prayascitta.
Untuk Civara yang dipergunakan Sang Buddha ialah panjang 9 Kheub dan lebar 6
kheub
Dan harus memotong bagian dari pakaiannya yang terlalu lebar dan terlalu
panjang, dan membuat civaranya di bawah ukuran yang ditentukan sebelum dia
menggunakannya, Jika tidak dia tidak akan terbebas dari kesalahan.

Kesalahan-kesalahan tersebut diatas di sebut Prayascitta dan semua kesalahan
itu adalah lebih ringan dari Naihsargika-Prayascittika.

KSAMAKARMA
Memohon Pengampunan

Kesalahan Prayascitta ini dapat diampuni dengan pengakuan dihadapan Sidang
atau dihadapan bhiksu atau bhiksu-bhiksu, supaya pelanggar dapat dibersihkan
daripada kesalahan.
Catatan : Dalam Pratimoksa Theravada terdapat 2 kesalahan Pacittiya, lebih
dari naskah Sansekerta yang diuraikan sebagai berikut :
I. Pasal 81 : Jika seorang bhiksu yang telah bermufakat dengan Sangha
untuk memberikan pakaian pada salah seorang sesama bhikhu, kemudian mengomel
dan menyalahkan Sangha menyimpangkan milik dari satu bhiksu kepada bhiksu
lainnya yang mereka senangi, dia telah melakukan Pacittiya.
II. Pasal 82 : Jika seorang bhiksu mengetahui bahwa seseorang akan
memberikan sesuatu pada Sangha dan jika karena perbuatannya barang itu
diberikan kepadanya, dia telah melakukan Pacittiya.

Dalam naskah sansekerta dan Pasal di atas dikatakan adalah sama beratnya
dengan menyimpangkan milik seorang bhiksu kepada bhiksu lain atau diri
sendiri seperti dinyatakan dalam Pasal 30 di dalam Naihsargika
Prayascittika, maka bagian ini kurang 2 pasal.

IV. Pratidesaniya
(Patidesaniya)
Bagian Keenam

Pratidesaniya merupakan satu bagian Pratimoksa. Kata Pratidesaniya dapat
diinterpretasikan sebagai uraian diri dalam pengakuan : ada 4 kesalahan
Pratidesaniya yaitu :
1. Bilamana seorang bhiksu pergi ke suatu desa, dia menerima makanan dengan
tanganya sendiri dari seorang bhiksuni yang bukan sanak keluarganya, dia
telah melakukan Pratidesaniya.
2. Bilamana seorang bhiksu diundang untuk makan di rumahnya seorang upasaka
dan jika seorang bhiksuni menyuruh upasaka itu untuk memberikan makanan ini
atau itu kepadanya, dia harus melarang bhiksuni itu dan menyuruhnya
meninggalkan tempat itu sampai dia habis makan. Jika dia gagal untuk berbuat
demikian di telah melakukan Pratidesaniya.
3. Bilamana seorang bhiksu tidak diundang oleh bhiksu lain yang telah
menerima pujian sebagai calon Arahat, jika ia berpikir bahwa dirinya sama
bijaksana dan terpelajarnya seperti bhiksu itu dan lalu makan bersama
dengannya kecuali dia sakit, dia telah melakukan Pratidesaniya.
4. Bilamana seorang bhiksu tinggal di hutan (disebut savanasana, atau yang
tidur dan tempat duduknya di hutan ) dan tidak di undang oleh seorang
upasaka, namun pergi juga makan, terkecuali dia sakit dia telah melakukan
Pratidesaniya.

Ksamakarma
Memohon Pengampunan

Kesalahan Pratidesaniya tersebut di atas semuanya adalah
kesalahan-kesalahan yang ringan yang memerlukan pengakuan salah dihadapan
seorang bhikkhu atau bhiksu yang lain

Pratidesaniya adalah pemeriksaan diri dan pengakuan di depan umum.
Kesalahan yang tersebut di atas adalah Pratidesaniya, Siksakaraniya akan
dinyatakan di dalam bagian yang berikutnya.

Siksakaraniya
(Dalam naskah Pali disebut : Sekhiya)
Bagian ketujuh

Siksakaraniya merupakan bagian ketujuh dari Pratimoksa yang terdiri dari
serangkaian 100 peraturan dengan menunjukkan pada tata kelakukan para
bhiksu, peraturan-peraturan itu adalah sebagai berikut :
1. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi secara pantas bagian bawah
dari badannya.
2. Seorang bhiksu harus belajar untuk menggunakan pakaiannya dan berpakaian
secara pantas.
3. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengangkat pakaiannya bila sedang
berjalan di desa.
4. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi lehernya dengan sepotong kain
bila sedang berjalan di desa.
5. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi lehernya dengan sepotong kain
bila sedang duduk di dalam rumah.
6. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi kepalanya dengan sepotong
kain bila sedang berjalan di desa.
7. Seorang bhiksu harus belajar tidak menutupi kepalannya dengan sepotong
kain bila duduk di dalam rumah.
8. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak berjalan berjingkat bila berjalan
di desa.
9. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak menekuk jari kakinya kedalam atau
keluar selagi duduk di rumah.
10. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak merangkul lututnya selagi duduk
di dalam rumah.
11. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak bertolak pinggang dengan salah
satu tangannya bila berjalan di desa.
12. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak bertolak pinggang dengan salah
satu tangannya bila duduk di dalam rumah
13. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melenggokkan badannya bila
berjalan di desa.
14. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melenggokkan badannya bila
duduk di dalam rumah
15. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengayun-ayunkan tangannya bila
berjalan di desa
16. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak mengayun-ayunkan tangannya bila
duduk di dalam rumah
17. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi badannya dengan pakaian demi
kesopanan bila berjalan di desa.
18. Seorang bhiksu harus belajar untuk menutupi badannya dengan pakaian
demi kesopanan bila berjalan di desa.
19. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak memandang ke kanan dan ke kiri
bila berjalan ke desa.
20. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak melihat ke sekeliling kamar bila
duduk di dalam kamar.
21. Seorang bhiksu harus belajar untuk memiliki suatu kelakuan baik bila
berjalan di desa.
22. Seorang bhiksu harus belajar untuk duduk dengan tenang sekali bila duduk
di dalam rumah.
23. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak tertawa terbahak-bahak bila
berjalan di desa.
24. Seorang bhiksu harus belajar agar tidak tertawa terbahak-bahak bila
duduk di dalam rumah.
25. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian makanan dari orang
berkeluarga secara hormat.
26. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian makanan sampai batas
mangkok makanannya penuh.
27. Seorang bhiksu harus belajar menerima pemberian kari atau lauk pauk
sampai batas mangkok makanannya penuh.
28. Seorang bhiksu harus belajar makan kari atau lauk pauk secara seimbang
dengan nasi di dalam mangkok.
29. Seorang bhiksu harus belajar memakan makanan yang telah diberikan
kepadanya dengan ramah tamah dan menghormat.
30. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuat lubang didalam nasi di
mangkoknya, sewaktu makan.
31. Seorang bhiksu harus belajar tidak meminta kari atau lauk pauk dari
seorang pengikut dan memakannya secara lahap, terkecuali dia sakit.
32. Seorang bhiksu harus belajar tidak menanamkan kari, lauk pauk atau
lain-lain makanan di bawah nasi atau di dalam mangkoknya untuk memperoleh
lebih banyak makanan lagi.
33. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengintip ke dalam mangkok bhiksu
lain selagi makan.
34. Seorang bhiksu harus belajar mengarahkan matanya pada mangkoknya selagi
makan.
35. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengambil suapan yang terlalu besar
sewaktu makan, yaitu sekepalan nasi yang dipencet dengan tangan sehingga
berbentuk bulat atau lonjong yang akan mudah dimasukkan ke dalam mulut.
36. Seorang bhiksu harus belajar tidak membukakan mulutnya sebelum nasi
masuk kemulutnya.
37. Seorang bhiksu harus belajar tidak berbicara selagi mulutnya penuh
dengan nasi atau makanan.
38. Seorang bhiksu harus belajar tidak melemparkan bola nasi ke dalam
mulutnya selagi makan.
39. Seorang bhiksu harus belajar tidak memungut nasi atau makanan yang jatuh
dari mangkoknya.
40. Seorang bhiksu harus belajar tidak menggembungkan pipinya selagi makan.
41. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuat berisik selagi makan.
42. Seorang bhiksu harus belajar tidak menghisap nasi dengan menariknya
dengan lidah dan bibir selagi dia makan.
43. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengeluarkan lidahnya selagi dia
makan.
44. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengejang-ngejangkan tangannya selagi
dia makan.
45. Seorang bhiksu harus belajar tidak mencecerkan nasi di sekitar
mangkoknya selagi makan.
46. Seorang bhiksu harus belajar tidak mempergunakan tangannya yang kotor
untuk mengambil barang pecah belah yang berisi air.
47. Seorang bhiksu harus belajar tidak melemparkan air yang didalamnya
terdapat beberapa butir nasi yang ketinggalan setelah mencuci mangkoknya di
suatu rumah
48. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar atau
berludah di atas tetumbuhan hijau yang sedang tumbuh di tanah , kecuali dia
adalah seorang bhiksu yang sakit
49. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar atau
berludah ke dalam air, kecuali dia adalah seorang yang sakit.
50. Seorang bhiksu harus belajar tidak berdiri bila membuang air kecil atau
besar , kecuali dia sedang sakit.
51. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada orang
yang berpakaian secara tidak sopan, kecuali orang itu sedang sakit.
52. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang membuka bajunya dan melilitkannya di lehernya, kecuali orang itu sakit.
53. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan kepada seorang yang
menutupi kepala dengan kain, kecuali orang itu sakit.
54. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang melilitkan syaal (selendang) dilehernya , kecuali orang itu sakit.
55. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang bertolak pinggang , atau yang mempalangkan tangannya di belakangnya,
kecuali orang itu sakit.
56. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang kakinya bersepatu, kecuali orang itu sakit.
57. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang memakai bongkah/bakiak di kakinya, kecuali orang itu sakit.
58. Seorang bhiksu harus belajar tidak mengajarkan dharma kepada seorang
yang menunggang hewan, atau duduk di atas kereta, gerobag atau
kendaraan-kendaraan lain, kecuali orang itu sakit.
59. Seorang bhiksu harus belajar tidak melewatkan malam (bermalan) di dalam
suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya-cetiya). kecuali kalau ia penjaganya.
60. Seorang bhiksu harus belajar tidak menyimpan barang-barangnya di dalam
suatu upavasatha, stupa atau cetiya, kecuali barang-barang itu dimaksudkan
untuk membuatnya lebih kuat.
61. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu, sandal atau terompah.
Bila memasuki upavasatha atau stupa atau cetiya.
62. Seorang bhiksu harus belajar tidak menenteng membawa sepatu, sandal,
atau terompah ke dalam suatu upavasatha, Stupa atau cetiya
63. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu atau sandal sewaktu
mengelilingi upavasatha, stupa atau Cetiya.
64. Seorang bhiksu harus belajar tidak memakai sepatu yang terhias sewaktu
mengelilingi upavasatha, Stupa atau cetiya
65. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa sepatu yang berhiaskan bila
memasuki upavasatha, stupa atau cetiya.
66. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk dimanapun didalam suatu
upavasatha, Stupa atau cetiya, ataupun memakan apapun dan melemparkan
bungkusnya didalam tempat yang keramatitu.
67. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa suatu mayat lewat dekat
upavasatha, stupa atau cetiya.
68. Seorang bhiksu harus belajar tidak menanamkan suatu mayat di bawah
sesuatu upavasatha Stupa atau Cetiya.
69. Seorang bhiksu harus belajar tidak melaksanakan perabuan di bawah
sesuatu upavasatha stupa atau cetiya.
70. Seorang bhiksu harus belajar tidak melakukan perabuan mayat disebelah
manapun dari suatu upavasatha, stupa atau Cetiya sehingga menimbulkan rasa
tak sedap dan busuk.
71. Seorang bhiksu harus belajar tidak melaksanakan perabuhan di hadapan
suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya.
72. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa pakaian yang telah dipakai
oleh seorang mati atau tempat tidur untuk meletakkan seorang mati pada
suatu upavasatha, stupa atau Cetiya, kecuali sudah dicuci bersih.
73. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau besar di
bawah suatu upavasatha, Stupa atau Cetiya.
74. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau air besar di
hadapan suatu upavasatha, stupa atau Cetiya.
75. Seorang bhiksu harus belajar tidak membuang air kecil atau air besar
disebelah manapun suatu upavasatha, stupa, atau cetiya sehingga menimbulkan
bau yang tak menyenangkan.
76. Seorang bhiksu harus belajar tidak membawa dengannya sesuatu patung Sang
Buddha bila memasuki kamar kecil.
77. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix adan air di bawah suatu Upavasatha, stupa atau cetiya.
78. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix dan air di hadapan suatu upavasatha, Stupa atau cetiya.
79. Seorang bhiksu harus belajar tidak membersihkan giginya dengan batang
pohon selix dan air di bawah suatu upavasatha, stupa atau Cetiya.
80. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah berdahak atau mengeluarkan
air liur di hadapan suatu Upavasatha Stupa atau Cetiya.
81. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah, berdahak atau mengeluarkan
air liur di bawah suatu upavasatha , stupa atau cetiya.
82. Seorang bhiksu harus belajar tidak berludah, berdahak atau mengeluarkan
air di sebelah upavasatha manapun, stupa atu Cetiya.
83. Seorang bhiksu harus belajar tidak duduk dan melonjorkan atau
merenganggkan kakinya kehadapan ataupun kejurusan suatu upavasatha, stupa
atau Cetiya.
84. Seorang bhiksu harus belajar tidak menempatkan suatu upavasataha. Stupa
atu Cetiya di dalam sebuah kamar di bawah dan menempatkan dirinya dikamar
atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar