Sabtu, 09 Juli 2011

Agama Buddha Sebagai Semangat Hidup oleh: Y.M. Uttamo Thera *


Agama Buddha Sebagai Semangat Hidup
oleh: Y.M. Uttamo Thera *
Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapa pula yang akan menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari. (Dhammapada XII, 4)
 
PENDAHULUAN
Kehidupan yang selalu berubah serta penuh dengan perbedaan antara keadaan seseorang dengan orang yang lain, seringlah menimbulkan kejengkelan, kecemburuan dan putus asa. Sering kali kita menyesali, mengapa orang lain lebih bahagia daripada kita, padahal tingkah laku mereka tidak lebih baik daripada kita. Kita yang telah berusaha berbuat baik, penderitaan malah sering mengikuti seperti bayangan kita sendiri. Apakah ada kesalahan kita? Mengapa pula di dunia ini ada orang yang kaya-miskin, sehat-sakit-sakitan, umur panjang-umur pendek, cantik-jelek, pandai-bodoh, dan masih panjang lagi daftar ini bila semua dituliskan. Perasaan kita kadang lebih hancur bila kita mengingat penderitaan seakan lebih sering terjadi pada kita dibandingkan pada orang lain. Hal semacam ini juga terjadi dalam kehidupan kampus, rasanya kita telah lebih banyak belajar untuk persiapan ujian, kenapa orang yang lebih tidak siap menghadapi ujian sering memperoleh nilai yang hampir sama, bahkan kadang sama atau malah melebihi nilai kita. Kita kecewa. Kita kemudian bertanya dalam hati, apakah kesalahan kita? Apakah benar ini cobaan hidup? Siapakah yang mencoba? Kita terus berusaha mencari 'kambing hitam' atas kesulitan yang dialami.
Namun, sebagai seorang umat Buddha, kita tidak diajar oleh Sang Guru Agung untuk menyalahkan pihak lain atas kesulitan kita. Semua penderitaan dan masalah kehidupan pasti ada penyebabnya. Setiap orang memiliki penyebabnya masing-masing.
Oleh karena itu, sungguh tidak tepat bila dalam diri kita masih juga muncul kejengkelan, iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, bahkan amat keliru kalau kita sampai putus asa, patah semangat hidup dalam menghadapi perubahan yang terus terjadi dalam kehidupan. Buddha Dhamma telah sempurna dibabarkan. Buddha Dhamma memberikan jalan untuk memperoleh kebahagiaan. Buddha Dhamma juga menguraikan cara untuk mempertahankan kebahagiaan yang kita alami.
 
SETIAP MAHLUK MEMILIKI KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
Sang Buddha sejak hampir tiga ribu tahun yang lalu telah mengerti dan menyadari bahwa kehidupan ini memang selalu berisikan perbedaan, saling bertolak belakang. Perbedaan dalam dunia ini malah sering diibaratkan sebagai saudara kembar. Artinya, kita tidak mungkin hanya menerima satu sisi dan menolak sisi yang lainnya. Kita hanya mau menerima sisi kebahagiaan saja dan menolak sisi yang berisikan penderitaan. Tidak bisa. Tidak mungkin. Kita pasti menerima keduanya. Menerima kedua kenyataan hidup ini sering membuat pikiran kita menjadi tidak seimbang. Kadang pikiran merasa senang, tetapi tidak jarang pikiran menjadi sedih. Sungguh sulit untuk bertahan pada pikiran yang penuh kebahagiaan. Permasalahannya sekarang, adakah sistem yang dapat mempertahankan pikiran akan selalu bahagia walaupun kita harus menerima kenyataan bagaimanapun juga? Ada. Buddha Dhamma yang telah dibabarkan sempurna oleh Sang Guru Agung Buddha Gotama mampu memberikan jalan kebebasan menuju kebahagiaan sejati.
Bila diamati, kondisi bahwa segala sesuatu selalu berubah ini adalah merupakan hakekat kehidupan. Perubahan itu sendiri adalah netral, tidak menyedihkan maupun menggembirakan. Munculnya perasaan suka maupun duka dalam menghadapi perubahan itu adalah hasil pikiran kita sendiri.
Oleh karena itu, tidak mungkin kita mampu mengubah dunia. Tidak mungkin kita mengubah kenyataan. Hal yang mampu kita lakukan adalah mengubah cara berpikir kita sendiri. Siap menerima kenyataan sebagai kenyataan, bukan seperti yang kita harapkan menjadi kenyataan. Cara berpikir yang salahlah yang membuat kita menderita. Cara berpikir yang salah ini karena kita terlalu mengharapkan kenyataan dapat berubah sesuai dengan keinginan kita. Makin besar keinginan mengubah kenyataan, makin besar pula penderitaan dan kekecewaan yang akan dirasakan. Kita ingin selalu berkumpul dengan segala sesuatu yang dicinta. Sebaliknya, kita selalu berusaha menolak untuk bertemu dengan apapun yang kita benci. Kenyataannya, kita pasti akan berpisah dengan segala yang dicinta dan bertemu dengan hal-hal yang dibenci. Karena itu, kita hendaknya mengubah cara berpikir agar mampu menerima kehidupan ini sebagaimana adanya.
Dalam pergaulan dengan sesama manusia, sering muncul benturan dan ketidakselarasan. Masalah ini juga timbul karena harapan tidak selalu sesuai dengan keinginan. Untuk mengatasi masalah ini kita hendaknya mengembangkan pola pikir bahwa semua orang selalu memilki kelebihan dan kekurangan. Kita memiliki kekurangan, tetapi juga pasti ada kelebihannya; sebaliknya orang lain di samping kelebihannya, dia pasti mempunyai kekurangan pula. Kita semua sama. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada orang yang memiliki kelebihan di bidang penampilan fisik tetapi mungkin memiliki kekurangan dalam bidang kecerdasan. Orang lain yang memiliki kekurangan dalam kecerdasan, mungkin ia adalah orang yang sukses dalam berniaga. Serta masih banyak contoh lainnya. Dengan memiliki cara berpikir seperti ini membuat kita dapat lebih menerima perbedaan-perbedaan itu. Dalam kehidupan ini, sesungguhnya orang hanya saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya. Apabila ia melihat orang lain memiliki sesuatu yang ia sendiri belum memiliki maka ia katakan orang itu berbahagia. Kenyataannya, kebahagiaan relatif sifatnya. Kebahagiaan adalah urusan pribadi, tidak dapat diukur oleh orang lain.

KAMMA BURUK DILAWAN KAMMA BAIK
Apabila kita sudah mengerti adanya kekurangan dan kelebihan pada setiap mahluk, maka kita hendaknya mulai merenungkan penyebab perbedaan ini muncul. Perbedaan ini muncul karena adanya Hukum Karma/Kamma atau hukum perbuatan. Dalam Samyutta Nikaya telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik, pembuat kebajkan akan memperoleh kebahagiaan, sebaliknya pembuat kejahatan akan mendapatkan penderitaan. Jadi, orang yang memiliki penampilan menarik adalah karena buah kebajikannya dari kehidupan lampaunya, sedangkan bila dia tidak pandai di kampus adalah bagian dari buah kamma buruknya di masa lampau pula.
Membahas masa lampau memang sulit. Dibahaspun tidak akan menyelesaikan masalah, malah mungkin menimbulkan masalah baru. Debat kusir. Oleh karena itu, sekarang yang paling penting adalah bagaimana menyelesaikan masalah atau kesulitan yang timbul dalam kehidupan kita, tanpa harus mencari 'kambing hitam'.
Karena kesulitan dan permasalahan adalah bagian dari buah kamma buruk kita, maka untuk mengatasinya, kita dapat menambah kamma baik. Penambahan kamma baik dapat dilakukan melalui perbuatan badan, ucapan dan juga pikiran. Semakin banyak kamma baik kita lakukan, semakin besar kondisi hidup kita untuk mencapai kebahagiaan. Ibarat pada segelas air dimasukkan satu sendok garam, lalu diaduk, terasa sangat asin. Untuk mengurangi rasa asin itu, kita dapat menambah air sedikit demi sedikit. Apabila air sudah sebanyak lima atau sepuluh gelas maka satu sendok garam yang ada di dalam air itu sudah tidak terasa lagi asinnya. Demikian pula dengan hukum perbuatan, garam diibaratkan sebagai perbuatan buruk kita; air adalah perbuatan baik kita. Jika seseorang mengalami kesulitan hidup, hal ini disebabkan karena jumlah garam atau kamma buruknya cukup banyak sehingga ia harus terus menambah air kebajikan sekaligus menghentikan kejahatannya. Sebaliknya, orang yang telah berbahagia dalam kehidupan ini diibaratkan seperti orang yang memiliki air dalam jumlah banyak dengan sedikit garam. Asinnya hampir tidak terasa. Meskipun demikian, hendaknya ia tidak dengan seenaknya saja menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesempatan dalam hidupnya dengan melakukan kamma buruk, atau digambarkan seperti menambah jumlah garam ke dalam air. Sebab, meskipun memiliki air kebajikan dalam jumlah yang banyak, apabila terus ditambah dengan garam kejahatan, lambat laun perbandingannya pun semakin kecil dan buah kejahatan akan menimbulkan penderitaan padanya.

CARA MENCAPAI KEBAHAGIAAN
Dalam Agama Buddha, terdapat tiga perbuatan baik yang dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat kehidupan kita. Ketiga perbuatan itu adalah kerelaan (dana), kemoralan (sila) dan konsentrasi (samadhi). Ketiga jalan Ajaran Sang Buddha ini jika dilaksanakan terus dalam kehidupan akan membuat hidup kita lebih baik dan bahagia di dunia ini. Bahkan, di kehidupan yang akan datang pun dapat terlahir di salah satu dari dua puluh enam alam surga.
Kerelaan (dana) adalah awal kebajikan. Kerelaan dapat berupa materi dan juga bukan materi. Pokok pemikiran latihan kerelaan ini adalah agar orang dapat memilki pola pikir: Semoga semua mahluk berbahagia. Sebab, dengan pemikiran awal ini saja, kebencian, iri hati maupun kecemburuan akibat perbedaan dalam kehidupan akan dapat dilenyapkan. Kita bahkan ikut berbahagia atas kebahagiaan mahluk lain. Kita bersimpati dengan kebahagiaan orang lain. Kita menjadi orang yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap lingkungan. Dengan latihan kerelaan, kita berusaha menurunkan tingkat keinginan kita - bila memang tidak mampu mencapainya - agar sesuai dengan kenyataan yang sedang kita hadapi. Apabila kita bertemu dengan orang yang menjengkelkan, kita bisa menghindarinya sambil merenungkan, mungkin memang tingkah semacam itulah yang membuatnya bahagia.
Kemoralan berintikan kedisiplinan. Latihan ini diawali dengan pelaksanaan Pancasila Buddhis. Isi Pancasila Buddhis adalah latihan pengendalian diri untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan. Inti latihan ini adalah agar kita dapat meningkatkan kualitas diri kita. Meningkatkan disiplin diri. Menumbuhkembangkan disiplin diri diperlukan agar kita mampu mencapai harapan kita. Jadi apabila kedermawanan ditujukan untuk menurunkan harapan, disiplin diri ditujukan untuk meningkatkan sistem kerja agar tercapai target yang diharapkan.
Peningkatan sistem kerja ini dengan merenungkan dua hal yang telah diajarkan dalam Dhamma (Anguttara Nikaya II, 16). Pertama, menganalisa kelebihan dan kekurangannya sendiri. Faktor kelebihan hendaknya kita kembangkan terus sehingga kebahagiaan akan semakin sering dirasakan. Sebaliknya, unsur kekurangan, hendaknya kita hindari agar penderitaan tidak lagi datang pada diri kita. Kedua, menganalisa kelebihan dan kekurangan orang lain. Apabila kita dapat menemukan kekurangan orang, segera hindarilah sikap buruk semacam itu karena kita memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukannya. Sedangkan apabila kita melihat kelebihannya, segera tirulah agar kita juga memperoleh keberhasilan yang sama. Dengan demikian, bila kita melihat keberhasilan orang lain, tidak akan muncul rasa iri hati, justru kita akan bersemangat untuk meneladaninya. Kalau orang lain mampu melakukan, kita pun harus berusaha untuk melakukannya pula.
Konsentrasi atau latihan meditasi ditujukan untuk mencapai ketenangan pikiran. Meditasi tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Meditasi adalah sarana untuk menenangkan pikiran agar dapat menyelesaikan masalah. Dengan memiliki ketenangan pikiran, kita dapat menentukan kapankah kita harus menurunkan harapan kita; atau kapankah kita harus meningkatkan sistem kerja kita. Ataukah, kapan saatnya untuk melakukan keduanya sekaligus, menurunkan harapan dan meningkatkan kinerja. Pemilihan ini membutuhkan ketenangan dan keseimbangan batin. Dengan memiliki kemampuan memberikan pilihan yang tepat, kita akan dapat meningkatkan kebahagiaan dalam hidup.

KESIMPULAN
  1. Semua mahluk memang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan.
  2. Perbedaan yang ada pada mahluk hidup adalah karena setiap mahluk memiliki kammanya sendiri-sendiri.
  3. Kita dapat memperbaiki kehidupan kita dengan melaksanakan kerelaan, kemoralan dan samadhi setiap hari.
  4. Kerelaan digunakan untuk menyesuaikan harapan kita agar sama dengan kenyataan. Dapat menerima kenyataan.
  5. Kemoralan ditujukan agar kita dapat memperbaiki kualitas diri dan sistem kerja kita agar harapan dapat tercapai.
  6. Samadhi dimanfaatkan untuk menentukan apakah keinginan ataukah sistem kerja yang harus kita perbaiki. Atau menentukan tindakan yang tepat untuk menghadapi masalah.

RENUNGAN
Segala suka dan duka sesungguhnya adalah karena buah perbuatan kita sendiri. Karena itu bila kita sedang berbahagia tambahlah terus kebajikan agar dapat terus mempertahankan kebahagiaan yang sedang kita rasakan. Bila sedang mengalami penderitaan, maka jangan bosan-bosan untuk menambah kebajikan pula agar kamma buruk yang kita alami segera berlalu.


Jan 22, '10 1:17 PM
for everyone




Kehidupan yang selalu berubah serta penuh dengan perbedaan antara seseorang dengan orang lain, memungkinkan menimbulkan kecemburuan dan putus asa. Apalagi di jaman yang serba wah ini bisa jadi  banyak kejadian- kejadian yang seolah bersamaan dengan kemalangan dan kemujuran seseorang. Ada keuntungan-keuntungan tertentu di balik terjadinya kasus, namun disisi lain ada pihak-pihak yang sangat dirugikan.
Akhirnya timbulah perbedaan yang menyolok dalam masyarakat, yaitu kelompok yang menderita, dan kelompok teruntungkan. Dari sudut pandangan kelompok yang menderita timbul suatu penyesalan, putus asa, kenapa orang lain bahagia, pada hal, mereka tingkah lakunya tidak lebih baik dari orang-orang yang menderita. Mereka telah berusaha berbuat baik, penderitaan malah selalu mengikutinya. Mungkin juga perasaan bisa menjadi lebih hancur bila merasakan penderitaan lebih sering terjadi, jika di bandingkan dengan orang lain. Sang Buddha mengajarkan bahwa, semua penderitaan dan masalah kehidupan pasti ada penyebabnya, karena itu sungguh tidak tepat bila dalam diri kita muncul kejengkelan, irihati, apalagi putus asa, patah semangat dalam dalam menghadapi perubahan yang terus terjadi dalam kehidupan kita. Lebih lanjut di jelaskan dalam Dhammapada XII.4
“ Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri, karena siapapula yang akan menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari”

Sang Buddha menjelaskan bahwa, kehidupan ini memang selalu berisikan perbedaan, ibarat saudara kembar, kita tidak bisa hanya menerima satu sisi, dan menolak sisi yang lainnya.Menolak sisi penderitaan dan menerima sisi kebahagian saja. Pasti kita menerima keduanya. Mengalami dua kenyataan hidup yang silih berganti, yang kadang membuat pikiran menjadi tidak seimbang.Kadang pikirang merasa senang dan kadang menjadi sungguh sangat menderita. Sebenarnya perubahan itu sendiri netral, tidak menyedihkan ataupun menggembirakan. Perasaan suka maupun dukkha dalam menghadapi setiap perubahan, adalah hasil pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin mampu merubah kenyataan, ataupun mungkin merubah batu-bata menjadi emas mulia. Hal yang mungkin dapat kita lakukan adalah mengubah cara berpiki, siap menerima kenyataan sebagai kenyataan, dan bukan yang kita harapkan menjadi kenyataan. Cara berpikir yang tidak benar, terlalu mengharapkan kenyataan sesuai dengan keinginnan kita, makin besar keinginan kita untuk mengubah kenyataan makin besar pula penderitaan penderitaan dan kekecewaan yang kita alami.
Di dalam pergaulan, mungkin sering kita berbenturan dan tidak selaran dengan teman, masalah inipun bisa terjadi karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Hendaknya kita mengembangkan pola piker bahwa semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan memiliki cara berpikir seperti ini kita akan lebih bisa menerima perbedaan-perbedaan. Sungguh sulit untuk mempertahankan kondisi pikiran agar selalu dan tetap bahagia. Kebahagiaan memiliki sifat yang relatif dan merupakan urusan pribadi, tidak dapat diukur oleh orang lain.
Penyebab perbedaan adalah karena karma. Karma inilah yang menimbulkan perbedaan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya.
Buddha Dharma yang telah sempurna di babarkan oleh Sang Guru Agung Buddha Gotama mampu memberikan jalan kebebasan menuju kebahagiaan sejati. Dalam Buddha Dharma terdapat tiga perbuatan baik yang dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat kehidupan  yaitu:
Yang pertama Kerelaan (dana):      adalah awal sebuah kebajikan. Pada awalnya dilatih dengan materi, mislnya mlepaskan baranga-barang yang berharga untuk kepentingan orang lain, atau empat kebutuhan pokok para Bhikkhu, setelah terbiasa dengan hal-hal yang demikian maka ditingkatkan dengan kerelaan non materi. Misalnya: memperhatikan kesulitan orang lain, memafkan orang lain, mengakui segala kelebihan dan kekeurangan orang lain. Dengan kerelaan ini akan selalu berharap semua makhluk selalu berbahagia. Dengan pemikiran awal sedemikian ini akan akan mengikis kebencian, irihati akibat perbedaan dalam kehidupan. Tingkat keinginan kita dapat kita turunkan, dan kita menjadi orang yang memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap semua perbedaan.
Yang kedua Kemoralan (Sila):        berintikan kedisiplinan, yang diawali dengan lima latihan sila, aga kita dapat meningkatkan kwalitas diri. Menumbuh kembangkan disiplin diperlukan agar kita mampu mencapai harapan kita. Dalam angutara nikaya II.16 dijelaskan pertama menganalisa kelebihan dan kekurangan diri sendiri, Faktor kelebihan kita kembangkan terus menerus sehingga kebahagiaan akan terasa selalu kita nikmati, sebaliknya unsure kekurangan kita hindari agar penderitaan tidak lagi datang. Kedua menganalisa kelebihan dan kekurangan orang lain, apabila kita menemukan sifat kebeurukan orang lain kita hindarkan, karena kemungkinan kita bisa melakukan hal yang sama dengan orang tersebut, sedangkan bila kita menemukan kelebihan orang lain, kita ikuti langkah-langkahnya agar kita memperoleh keberhasilan yang sama dengan orang tersebut.dengan demikian apabila kita melihat keberhasilan orang lain tidak timbul rsa irihati, justru kita akan bersemangat untuk meneladani. Kalau orang lain mampu, kitapun akan mampu melakukannya.

Yang ketiga Konsentrasi (Samãdhi): ditujukan untuk mencapai ketengan pikiran. Latihan medetasi dengaan menggunakan pernapasan sebagai sarana. Medetasi bukan mengatur ataur menghentikan pernapasan, tetapi merasakan pernapasan. Medetasi memang tidak akan meneyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Medetasi hanyalah sarana untuk menenangkan pikiran agar dapat lebih mudah meneyeselesaikan masalah. Dengan memiliki ketenangan pikiran orang dapat mengatur pikirannya. Sehingga dapat menghindarkan penderitaan dan meningkatkan kebahagiaan hidup.
Dari uraian didepan, Dengan demikian kita pahami bahwa, semua makhluk memiliki kelebihan dan kekurangan, perbedaan yang ada setiap maklhuk karena karmanya masing-masing,kita dapat memperbaiki dan meningkatkan kwalitas kehidupan dengan melaksanakan Dana, sila dan Samãdhi, “Segala suka dan dukkh sesungguhnya adalah buah perbuatan kita sendiri, karena itu apabila kita bahagia marilah kita tambah kebajikan kita agar dapat terus mempertahankan kebahagiaan yang sedang kita rasakan. Bila sedang mengalami penderitaan, janganlah bosan menambah kebajikan agar karma buruk yang kita alami segera berlalu.Denpasar 19 Agustus 2004

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan


Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan

Secara umum perkawinan meruakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang, baik anak muda maupun orang tua. Bagi anak muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi pada waktu-waktu mendatang, dalam kehidupan berumah tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena anaknya sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda menemukan jodohnya.
Seusia dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak suci.
Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal. Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.
Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan: “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”
Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)
Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami – istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni.
Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami – istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti yang dicita-citakan oleh semua orang.
Sehubungan dengan ini maka Sang Buddha menyebutkan beberapa jenis pasangan suami istri yang memiliki sifat sifat:
·                       Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan wanita jahat (raksasi/chava), ini merupakan pasangan yang brengsek.
·                       Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan seorang wanita yang baik (devi), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.
·                       Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita jahat (raksasa/chava), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita baik (devi). Pansangan pria yang baik dengan wanita yang baik atau dikatakan pasangan deva dan devi ini adalah pasangan yang paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang Buddha. (Anuggtara N.II,57)
Sujata adalah menantu Anathapindika yang terkenal sebagai seorang istri yang bengis, kejam dan tak kenal sopan terhadap suami maupun mertuanya. Sewaktu Sang Buddha sedang menguraikan ajarannya setelah menerima dana makan siang di rumah Anathapindika. Sujata marah-marah dan memaki-maki dengan suara yang keras dan kasar kepada pembantunya, sehingga Sang Buddha menghentikan ceramahnya dan bertanya: “Siapa itu yang marah-marah?” dan dijawab oleh Anathapindika bahwa dia adalah Sujata, menantunya yang sedang memarahi pembantunya.
Sang Buddha kemudian menyuruh memanggil Sujata untuk menhadap. Ketika Sujata sudah menghadap, maka Sang Buddha berbicara kepada Sujata, bahwa ada 7 (tujuh) jenis istri:

1.      Istri Pembunuh (Vadha-kasama), yaitu seorang istri yang tak kenal belas kasih batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh suaminya.
2.      Istri Perampok (Corisama), yaitu seorang istri yang walaupun seluruh hasil pendapatan suaminya sudah diserahkan pada istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta itu untuk kepentingan dirinya sendiri.
3.      Istri Kejam (Ayyasama), yaitu seorang istri yang malas, kaku, rakus, bengis, bicara kasa, suka bergunjing, menguasai siami, boros, memperbudak suami, menjelek-jelekkan siami.
4.      Istri Ibu (Matasama), yaitu seorang istri yang selalu memperhatikan suaminya, bagaikan seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik baik kekayaan keluarga yang diperoleh suaminya.
5.      Istri Saudara (Bhaginisama), yaitu seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani suaminya dengan sopan dan berbakti dengan penuh lemah lembut.
6.      Istri Sahabat (Sakhisama), yaitu seorang istri yang selalu bersikap riang terhadap suaminya, menyenangi kehadiran suaminya. Bagaikan bertemu sahabat yang telah lama tidak berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur, tulus mengadi dan dapat mengarahkan suaminya.
7.      Istri Pembantu (Dasisama), yaitu seorang istri yang bersifat tenang, bebas dari kemarahan. Dengan hati yang tenang bersedia menanggung derita bersama suaminya. Tanpa rasa dendam dan selalu patuh terhadap suaminya. Mendengarkan kata-kata suami dengan rendah hati.
Istri yang termasuk1, 2 dan 3 (pembunuh, pencuri, dan kejam), setelah meninggal akan terlahir kembali di alam yang penuh kesengsaraan. Tetapi istri yang termasuk 4, 5, 6, dan 7 (ibu, saudara, sahahgat dan pembantu), setelah meninggal akan terlahir kembali di dalam yang penuh kebahagiaan. Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti akan mendapatkan salah satu dari tujuh jenis istri ini. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Sujata, “Dan kami Sujata, termasuk jenis istri yang mana dirimu?” Dengan batin yang tergugah Sdujata menjawab bahwa mulai saat itu ia akan berusaha untuk menjadi pembantu bagi suaminya. Sejak saat itu, Sujata berubah menjadi istri yang baik. (Angguttara IV, 91 dst.J.269).
Sebaliknya seorang ssuamipun tentu memiliki sifat-sifat salah satu dari 7 jenis istri seperti tersebut diatas. Pasangan siami istri akan merupakan rumah tangga yang brensek, jika memili8ki sifat 1, 2 dan 3 seperti tersebut diatas. Tetapi Pasangan suami istri akan menjadi harmoni kalau terdapat pasangan yang memiliki sifat-sifat seperti tersebut dlam 4, 5, 6 atau 7 di atas. Selanjutnya dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana kewajiban suami-istri agar bisa menjalin hubungan rumah tangga yang harmoni.

Seorang suami harus memperlakukan istrinya:
1.                    Menghormatinya
2.                    Ramah tamah dan tidak membenci
3.                    Setia
4.                    Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
5.                    Memberikan hadiah/ perhiasan.

Seorang istri harus memperlakukan suaminya:
1.                    Menjalankan kewajiban dengan baik dan bertanggung jawab
2.                    Ramah tamah terhadap sanak keluarga dari kedua belah pihak
3.                    Setia
4.                    Melindungi penghasilan suaminya (tidak boros)
5.                    Pandai dan rajin melaksanakan tugasnya.
Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri. Oleh karena itu perkawinan yang harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan kehadiran mertua selaku orang tuanya sendiri, serta memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri (saudara ipar), sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman yang lainnya dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau menerima kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri, dan demikian pula bagi saudara-saudara iparnya. Dalam dunia rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan mengorbankan anak-anak, hanya karena ikut campirnya atau karena adanya dominasi mertua atau sauara-saudara ipar dalam rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga yang harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling pengertian antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah tangga yang harmoni. Jika dari 10 rumah tangga itu kita bisa jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah tangga itu ternyata hidupnya kurang harmoni (kalau tidak boleh dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.
Sekalipun demikian bagi kawula muda tidak perlu takut untuk berumah tangga, karena jodoh itu sebenanya sesuai dengan karma kita masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya tiak sesuai, penih dengan hari-hari cekcok, namun nyatanya anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita bisa banyak memperhatikan adanya pasangan suami-istri yang tidak seimbang, namun rumah tangga mereka bisa berjalan lancar, dan banyak yang bisa memdidik anak-anak mereka dengan sukses. Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus sama. Sepasang sepatu atau sandal tidak akan sama. Begitu pula pasangan sendok dan garpu sama sekali tidak sama. Sendok dan garpi hari-hari selalu bertarung diatas piring. Tetapi piring itu tak pernah menjadi pecah. Dan kalau sendok dan garpu itu tidak tarung diats piring maka kita tidak bisa kenyang, karena makan kita tidak bisa tenang. Demikianlah meskipun rumah tangga itu ada yang selalu cekcok, tetapi tak perlu rumah tangga itu harus pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-citakan? Bukan demikian. Hanya untuk membangun rumah tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci utamanya ialah kita harus mampu untuk menakhlukkan diri kita masing-masing. Kita harus mampu menaklukkan / mengendalikan nafsu-nafsu keinginan kita masing-masing.
Harmoni dengan keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja, tetapi baru biusa diraih dengan perjuangan. Usaha yang ulet, secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar serta bekerja denga rajin dan ulet untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk perjuangan batiniah dituntut adanya semangat pengendalian diri, dengan selalu menjaga kewaspadaan terhadap gerak gerik pikiran kita dennga biak. Hal ini bisa dicapai dengan rajin melatih diri dalam meditasi.
Meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah yang dikatakan mediasi benar, meditasi yang membawa berkah. Dalam hal ini meditasi vipassana bhavana merupakan satu satunya jalan paling cepat untuk bisa mengubah tingkah laku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih tenang, sabar, tidak gelisah, tidak mudah tersinggung, tidak membenci, tidak emosi dalam menghadapi segala sesuatu dalam pergaulan sehari-hari, selalu waspada, pikiran terkendali, serta bijaksana dalam segala tingdakan yang diambil atau dihadapinya.
Dengan meditasi yang benar kita tak akan kecil hati, tak akan takut, tak akan khawatir dalam menghadapi hari-hari mendatang. Kita tidak akan takut menghadapai peristitwa-peristiwa yang umumnya sering dipoandang mengganggu terhadap kebahagiaan keluarga. Yang kini maksudkan disini ialah bagaimana kita bisa tabah dalam menghadapi datangnya usia tua, sakit dan…. Saat-saat yang tidak kita inginkan… yaitu datangnya kematian, bagtaimanapun kita tak mungkin bisa menghindari datangnya tiga peristiwa tersebut, karena tanpa diundang dia pasti datang. Yang paling utama dalam hal ini ialah kita harus menyadari mulai sekarang, mulai saat ini juga. Kita harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya dnegna lapang dada, dengan pikiran yang penu ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga pada saat kita harus meninggal kita telah bebas dari ikatan harta materi maupun ikatan dengan anak, istri / suami, serta sanak saudara lainnya.
Dan jalan demikian hanya bisa dicapai melalui latihan mental secara intensif. Dalam hal ini ialah meditasi vipassana bhavana. Karena itu sangat penting bagi siapapun untuk berlatih meditasi ini. Lebih-lebih bagi pasangan muda yang bercita-cita untuk membangun rumah tangga yang harmoni, ia akan sukses jika kedua belah pihak suka dan sering melatih diri vipassana bhavana.. Meditasi ini merupakan cara satu-satunya untuk menyelami Dhamma. Dhamma tak akan dapat dilaksanakan dalam hidup sehari-hari hanya mendengarkan, diskusi, atau membca buku-buku Dhamma, tetapi harus dilaksanakan dengan perenungan yang mendalam (meditasi). Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan jalan menuju kepada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Hanya orang yang memiliki keseimbangan lahirian dan batiniah yang akan mampu menghadapi segala tantangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga ia bisa merasakan hdiup ini penuh dengan kebahagiaan.
Perceraian
Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya masalah perceraian. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran San Buddha. Masalahnya menjhadi timbul kalau ternaya dalam rumah tangga suami-stri tidak terdapat kecocokan sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta berusaha sekuat mungkin untuk melatih diri agar dapat mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada umumna masih dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang muncul dalam rumah tangga. Apakah dengan demikian agama Buddha melarang adanya perceraian?
Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungmkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua.
Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dn membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai dengan Dhamma.
Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia harus menceraikan istrinya terlebih dahulu? Tujuan menjadi Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan itu maka bagi seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu tidak perlu secara firmal minta surat cera, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan pisah meja makan, dan yang paling pentng adalah kesadarannya untuk melepaskan suaminya ari lingkungan rumah tangganya. Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika istrinya minta surat cerai untuk kawin lagi.
Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat cerai itu baru berlaku pada zmana peradaban modern ini. Hidup berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan bercerai sesuai dengan Dhamma. Pada hakekatnya perselisihan atau eprtengkaran dalam keluarga yahg menjurus pada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain. Jika pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak kita, maka jalan paling aman adalah kita sendiri yang harus mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertentangan di antara kita. Bagaimanapun juga harus dipertimbangkan bahwa perceraian akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan pendidikan anak yang tidak dapat lepas dari tanggung jawab orang tua..

Kesimpulan
·                       Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
·                       Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih cepat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha untuk mengubah tingkah kaku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu waspada dengna pikiran terkendali serta bijaksana.
·                       Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan latihan meditasi secara intensif, sehingga kita mampu menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga kita bsia merasakan hidup ini penuh dengan ketentraman dan kebahagiaan.
·                       Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepadaq perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bsia menuruti kehendak kita, maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri yang harus berani mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertengkaran di antara kita.

(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)
This entry was posted on 23.22 and is filed under Perspektif Buddhis . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.    http://artikelbuddhis.blogspot.com/2010/01/pandangan-agama-buddha-tentang.html

Berbagai artikel mengenai agama Buddha
23.14 | Author:

Perkawinan dalam Agama Buddha

Pendahuluan

Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara - sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini - ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.


Mencari dan Membina Pasangan Hidup

Dalam menguraikan tujuan hidup manusia, disebutkan salah satunya adalah tentang adanya pencapaian kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga. Pasti ada pula petunjuk dan cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan baik, mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri. Memang, hal tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha Nikaya III, 152, 232 dan dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di sana bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah:

1. Kerelaan (Dana)
Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan segala kesalahan anaknya
Dalam mencari dan membina pasangan hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal perkenalan dapat dikembangkan menuju kemampuan merelakan keakuan. Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian, saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, seringkali bukanlah karena disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali - kali kepada pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kemarahan bukanlah tanda cinta. Kemarahan adalah tanda keakuan. Ingin segala harapannya terpenuhi. Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan pasangan hidup.

2. Ucapan yang Baik/Halus (Piyavaca)
Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan hubungan.
Sampaikanlah pujian kita pada pasangan dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada pasangan dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari kesalahpahaman.
Perlu direnungkan, menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.

3. Melakukan Hal yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya)
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
Dengan demikian, tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Banyak pendapat umum yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai. Konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab, apabila orang yang dicintai sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan, apakah ia kemudian diceraikan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?
Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang yang dicintai’ hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri yang membahagiakannya, apakah seseorang akan meminta orang lain untuk membahagiakan dirinya?

4. Batin Seimbang, Tidak Sombong (Samanattata)
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.

Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.

1. Kesamaan Keyakinan (sadha)
Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, tetapi merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kita menyadari bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu, tetapi pencerapan dan penyelaman kita akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.
Namun demikian, keyakinan yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan. Jika masing-masing pihak bersikeras pada keyakinannya, bahkan salah satu pihak memaksakan keyakinannya pada pihak lain, tentunya hal ini akan menyebabkan keharmonisan terganggu.
Butuh toleransi dan pengertian yang besar dari kedua belah pihak. Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan pun masih dapat terus muncul apabila hubungan akan dilanjutkan dalam ikatan perkawinan. Menentukan tempat pemberkahan pernikahan dapat menjadi beban ekstra. Setelah memiliki anak pun masalah ini masih terus berlanjut Pasangan mungkin akan terus terlibat dalam diskusi berkepanjangan dan mungkin perdebatan sengit tentang pembinaan agama bagi keturunan mereka.

2. Kesamaan Kemoralan (sila)
Apabila keyakinan telah sama, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, membuka wawasan komunikasi yang baik serta menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.

3. Kesamaan Kedermawanan (caga)
Caga bukan hanya berarti suka berdana, tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, jiwa melepas, tidak tergantung, dan tidak melekat. Bagi orang yang murah hati pasti akan lebih mampu memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha. Orang yang murah hati batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia sehingga akan memudahkan untuk pengembangan batin yang lainnya.
Memiliki watak kedermawanan yang sama dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan iklas dan tanpa syarat. Selama sikap ini masih belum tertanam baik-baik di pikiran setiap pasangan, masalah sebagai akibat tuntutan agar pasangan dapat memenuhi harapan kita akan selalu muncul.

4. Kesamaan Kebijaksanaan (pañña)
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma.

Buddha Dhamma telah mengajarkan bahwa hidup ini berisikan ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan ini hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya, maka ketidakpuasannya pun akan dapat segera diatasi. Lalu, akhirnya Dhamma memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan. Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan hidup sesuai dengan Dhamma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.


Upacara Perkawinan Buddhis di Indonesia

Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain.
Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian untuk pemberkahan perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin. Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah.
Sedangkan tata cara perkawinan Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman hidupnya.
Itulah uraian singkat pada salah satu dari sekian banyak proses pernikahan Buddhis yang biasanya dilaksanakan di vihãra-vihãra di Indonesia. Proses tersebut dapat dikatakan sebagai puncak acara pernikahan Buddhis yang berlaku di masyarakat Indonesia. Jika ingin lebih jelas, dapat menyempatkan diri untuk menyaksikan pernikahan Buddhis di vihãra terdekat.

Membina Keluarga Buddhis Bahagia
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah :

a. Hak dan Kewajiban
Telah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
Setiap anggota keluarga hendaknya selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan kewajiban. Pada Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan: ‘Sebaiknya orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya’. Pola pandangan hidup ajaran Sang Buddha ini apabila dilaksanakan akan dapat menjamin ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga.

b. Kemoralan
Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya III, 203, yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari :
1. melakukan pembunuhan / penganiayaan
2. pencurian
3. pelanggaran kesusilaan
4. kebohongan, bicara kasar, omong kosong, dan bergosip
5. mabuk-mabukan dan mengkonsumsi segala sesuatu yang menimbulkan ketagihan (misalnya narkoba)

Pelaksanaan kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.

c. Ekonomi
Faktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.
Mengetahui pentingnya kondisi ekonomi untuk kebahagiaan keluarga, maka Sang Buddha juga telah menguraikan dengan jelas hal ini pada Anguttara Nikaya IV, 285. Dalam nasehat Beliau di sana disebutkan empat persyaratan dasar agar orang dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, yaitu:

Ø Pertama, orang hendaknya rajin dan bersemangat di dalam bekerja mencari nafkah.

Ø Kedua, hendaknya ia menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannya mudah hilang atau dicuri. Orang hendaknya juga terus menjaga cara bekerja yang telah dilakukannya sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.

Ø Ketiga, berusahalah untuk memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang jahat, serta

Ø Keempat, berusaha menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu boros, dan juga tidak terlalu kikir.
Melaksanakan tuntunan cara hidup yang diberikan oleh Sang Buddha seperti itulah yang akan mewujudkan kehidupan keluarga menjadi bahagia secara ekonomis. Bila kondisi ekonomi keluarga telah dapat dicapai sesuai dengan harapan para anggota keluarga tersebut, maka untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya lagi dapat disimak Sabda Sang Buddha yang lain dalam Anguttara Nikaya II, 249 yang menyebutkan bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di dunia ini, semua disebabkan oleh empat hal, atau sebagian dari keempat hal itu. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah rusak, makan dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat kebajikan.
Harus disebutkan pula bahwa kesinambungan adanya semangat bekerja memegang peranan penting untuk keberhasilan berusaha. Sang Buddha membahas tentang hal ini dalam Khuddaka Nikaya 2444, yaitu bekerjalah terus pantang mundur; hasil yang diinginkan niscaya akan terwujud sesuai dengan cita-cita. Dan bila semangat dapat dipertahankan serta dikembangkan, maka tiada lagi kekuatan yang mampu menghalangi keberhasilannya. Sang Buddha pernah bersabda dalam Khuddaka Nikaya 881, bahwa ‘seseorang yang tak gentar pada hawa dingin atau panas, gigitan langau, tahan lapar dan haus, yang bekerja dengan jujuh tanpa putus, siang dan malam, tidak melewatkan manfaat yang datang pada waktunya; ia menjadi kecintaan bagi keberuntungan. Keberuntungan niscaya meminta bertinggal dengannya’.

d. Perkawinan harmonis
Istilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.
Sang Buddha lebih lanjut menguraikan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan juga sebaliknya. Oleh karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai apabila suami dan istri dalam kehidupan perkawinan mereka telah mengetahui serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 118, yaitu bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak merendahkan atau menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi pakaian dan perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi suami (Samyutta Nikaya 165).
Sedangkan tugas istri terhadap suami adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu sanak keluarga suami, setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta rajin dan tidak malas, pandai dan rajin dalam melaksanakan semua tugasnya serta segala tanggung-jawabnya.
Konsekuensi logis lembaga perkawinan adalah melahirkan keturunan. Dan, Sang Buddha juga memberikan petunjuk-Nya agar terjadi hubungan harmonis antara orang tua dan anak serta sebaliknya. Keharmonisan ini juga terwujud apabila masing-masing pihak menyadari dan melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu, dalam kesempatan yang sama Sang Buddha menguraikan tugas anak terhadap orang tua, yaitu merawat, membantu, menjaga nama baik keluarga, bertingkah laku yang patut sehingga layak memperoleh warisan kekayaan, melakukan pelimpahan jasa bila orangtua telah meninggal. Lebih lanjut dalam Khuddaka Nikaya 286 disebutkan bahwa ayah dan ibu adalah Brahma (makhluk yang luhur), ayah dan ibu adalah guru pertama, ayah dan ibu juga adalah orang yang patut diyakini oleh putra-putrinya.
Mengingat sedemikian besar jasa serta kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka kewajiban anak di atas sungguh-sungguh tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti yang telah disebutkan dalam Khuddaka Nikaya 33, yaitu bahwa ‘Penghormatan, kecintaan, dan perawatan terhadap ayah serta ibu membawa kebahagiaan di dunia ini’. Sedangkan dalam Khuddaka Nikaya 393 disebutkan bahwa ‘Anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak’. Oleh karena ‘Ibu adalah teman dalam rumah tangga’ (Samyutta Nikaya 163).
Sedangkan tugas orang tua terhadap anak adalah menghindarkan anak melakukan kejahatan, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan pendidikan, merestui pasangan hidup yang telah dipilih anak, memberikan warisan bila telah tiba saatnya. Ditambahkan dalam Khuddaka Nikaya 252 bahwa ‘Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan martabat keluarga, serta mempertahankan martabat keluarga, dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga; yang menjadi penghancur keluarga’.
Dengan adanya ‘rambu-rambu’ rumah tangga yang diberikan oleh Sang Buddha di atas akan menjamin tercapainya keselamatan bahtera rumah tangga yang sedang dijalani. Oleh karena itu, kesadaran melaksanakan ajaran Sang Buddha tersebut perlu semakin ditingkatkan sehingga akan meningkatkan pula baik secara kualitas maupun kuantitas keluarga bahagia yang ada dalam masyarakat kita maupun dalam bangsa dan negara kita.
[KaDe]

Sumber Referensi:
http://www.buddhistonline.com/tanya/td157.shtml
http://www.geocities.com/Athens/Cret...rtikel151.html
http://www.kalyanadhammo’s/artikel29.html
www.budhisonline.com
This entry was posted on 23.14 and is filed under Perspektif Buddhis . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.  

Mencari Pasangan Hidup Yang Sesuai Dalam Agama Buddha
PDF
Print

Wednesday, 30 January 2008
oleh: Andri (FK '97)
Dalam pandangan Agama Buddha perkawinan hanyalah merupakan salah satu pilihan hidup di antara banyak pilihan hidup lainnya. Seorang penganut agama Buddha dapat hidup menyendiri menjadi seorang bhikku/ni, samanera/ri, anagarini/silacarini ataupun hidup sendiri dirumah tanpa menikah. Perkawinan hanyalah merupakan salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan. Apabila seseorang berniat berrumah tangga maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam tumah tangga.

Sebelum mencapai tahap perkawinan, ada baiknya kita melewati masa perkenalan (pacaran) yang merupakan masa bagi kita untuk saling menjajaki satu sama lain. Ada beberapa faktor yang sebaiknya kita jadikan pertimbangan dalam mencari pasangan hidup yang baik. Terdapat 4 hal yang diuraikan dalam Anguttara Nikaya II,60. Hal tersebut adalah :

A. Kesamaan keyakinan (samma saddha)
Walaupun sering kali dianggap hal yang kurang diperhatikan. Ada baiknya bagi kita untuk mencari pasangan hidup yang sama keyakinannya (agama). Seringkali kita mendengar banyak muda mudi berkata bahwa cinta dapat mengalahkan segalanya. Tetapi jika mereka mau berpikir lebih jauh, bila nanti mereka mempunyai anak, sangatlah sulit untuk menentukan pembinaan agama bagi keturunannya. Orang tua akan terlibat perdebatan berkepanjangan karena menganggap agamanya yang paling baik ( walaupun mungkin dapat diselesaikan jika salah satu ada yang mengalah). Alangkah lebih baiknya jika kedua orang tua bersama anak-anaknya pergi ke Vihara bersama-sama daripada saling memisahkan diri.

B. Kesamaan kemoralan (samma sila)
Jika sudah sama agamanya yaitu Agama Buddha hendaklah pasangan memiliki kesamaan dalam menjalankan Sila yang baik. Alangkah bahagianya jika pasangan dapat harmonis dalam menjalankan Sila-Sila dalam Agama Buddha terutama Pancasila Buddhis. Hal ini akan menambah keharmonisan pasangan karena masing-masing telah mengerti akan Ajaran Sang Buddha dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.

C. Kesamaan kedermawanan (samma caga)
Jika pasangan mempunyai watak kedermawanan yang sama dan sesuai dengan Ajaran Sang Buddha maka mereka akan mengerti bahwa sesungguhnya cinta adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang lain.

D. Kesamaan kebijaksanaan (samma panna)
Bila masing masing pasangan memiliki kebijaksanaan yang sama. Maka segala permasalahan yang timbul dalam pacaran maupun pada saat membina pasangan hidup dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan ajaran Agama Buddha. Pasangan harus sama-sama mengerti bahwa masalah yang timbul semuanya adalah akibat ketidakpuasan dan ketidak-kekalan yang semuanya adalah dukkha. Maka jika pasangan memiliki kesamaan kebijaksanaan maka diharapkan masalah dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.